JAKARTA, KOMPAS.com - Perencanaan pembangunan perkotaan dinilai masih belum menyentuh aspek paling mendasar yaitu kampung kota.
Kendati pembangunan telah dilakukan secara masif dengan menambah berbagai fasilitas transportasi publik sekalipun, belum termanfaatkan secara maksimal.
Salah satu persoalan dasar yang belum terselesaikan yaitu akses masyarakat kampung kota ke moda transportasi publik tersebut.
Persoalan kian bertambah ketika aplikasi peta digital mendorong warga dari luar kampung untuk menjadikan jalan-jalan perkampungan sebagai akses alternatif.
Dampaknya, kampung yang sudah padat bangunan dan penduduk kian sesak akibat dijejali dengan kendaraan bermotor.
Ditambah lagi akses penduduk ke moda transportasi publik yang kurang memadai, sehingga banyak warga yang pada akhirnya memilih menggunakan kendaraan pribadi sebagai moda transportasi.
"Makannya kami ingin akses menuju angkutan umum itu jauh lebih enak," kata Country Director Institute for Transportation & Development Policy (ITDP) Yoga Adiwinarto, menjawab Kompas.com, Minggu (4/11/2018).
ITDP kemudian bereksperimen di kampung RW 01 di kawasan Sunter Jaya, Jakarta Utara. Kampung ini sebelumnya dikenal sebagai salah satu kampung kumuh di Jakarta yang letaknya berdekatan dengan Kali Item.
Di dalam RW tersebut terdapat 24 RT yang dihuni sekitar 13.000 warga. Setelah berdiskusi dengan warga, kampung tersebut kemudian disulap menjadi kampung ramah pejalan kaki.
Menurut Yoga, lokasi kampung tersebut dekat dengan akses transportasi publik seperti TransJakarta atau metromini.
Namun, masyarakat cenderung memilih menggunakan kendaraan roda dua pribadi ketimbang transportasi publik.
"Sebenarnya tidak terlalu jauh, tapi pas lihat ini (akses), (alasannya) aduh udah males ah, susah jalannya, udah enggak enak, enggak aman. Akhirnya mereka naik motor," sebut Yoga.
Bila melihat kebiasaan masyarakat memilih menggunakan kendaraan pribadi dibanding berjalan kaki, makin menguatkan hasil riset yang dikeluarkan peneliti Universitas Stanford di Amerika Serikat.
Para peneliti mengganjar Indonesia sebagai negara yang masyarakatnya paling malas berjalan kaki. Dari sekitar 700.000 sampel masyarakat Indonesia hanya berjalan kaki 3.513 langkah setiap hari.
Jumlah ini masih jauh di bawah Hongkong yang mencapai 6.880 langkah per harinya.
Atas dasar itulah, ITDP kemudian melakukan riset untuk memperbaiki kondisi kampung guna meningkatkan mobilitas warga.
Sebenarnya, ada dua RW lain yang turut diteliti yaitu RW 01 Cikini, Jakarta Pusat dan RW 05 Mampang Prapapatan Jakarta Selatan. Namun, partisipasi tertinggi ditunjukkan warga RW 01 Sunter Jaya.
"Proses pengembangan desain, usulan perubahan, itu semua datangnya dari warga. Artinya semua desain itu datang atas dasar keinginan warga," sambung Yoga.
"Misalnya, pas kami ngecat dibantu sama RT, anak-anak juga ikut berpartisipasi. Mereka bilang, mas-mas jangan di sini dong, tapi di sini (tempat lain) aja," imbuh Yoga.
Ia menuturkan, penataan kampung kota memerlukan partisipasi dari banyak pihak. Pemerintah tidak bisa hanya bekerja sendiri sesuai dengan keinginannya tanpa ada masukkan dari warga atau pihak lain seperti lembaga swadaya masyarakat.
Sementara itu, Ketua RW 01 Sunter Jaya Sukartono mengatakan, selama ini warga RW 01 selalu terlibat aktif bila ada kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pada lingkungannya.
Hal ini sejalan dengan keinginan warga untuk menjadikan lingkungan mereka sebagai kampung wisata.
"Sebagai kampung mandiri, RW 01 selalu berupaya untuk menciptakan lingkungan yang nyaman dengan melakukan berbagai kegaiatan. Agar warga memiliki rasa memiliki atas lingkungannya," ucap Yoga.
Asisten Pembangunan dan Lingkungan Hidup Yusmada Faizal menilai, perubahan yang terjadi di kampung RW 01 Sunter Jaya sesuai dengan konsep pengembangan kota 4.0 yang telah dicetuskan Pemprov DKI.
Konsep pembangunan ini yaitu menjadikan warga sebagai subyek pembangunan, bukan hanya sebagai obyek dari pembangunan itu sendiri.
"Pemerintah itu hanya semacam kolabolator, wargalah kreatornya. Mau ngapain, mau apa yang terbaik untuk kampungnya, untuk warganya, termasuk fisik, sosial dan budayanya," cetus Yusmada.