SENIN HARGA NAIK. Begitu pesan yang selalu digaungkan sebuah pengembang properti dalam materi promosinya. Pesan ini memiliki kecenderungan mendorong konsumen untuk segera ambil keputusan untuk membeli.
Sayangnya, bagi mereka yang belum paham bahwa harga properti memang cenderung akan naik terus, pesan ini malah membuat turn off, “ilfil” kata anak sekarang. Seolah dipaksa membeli tanpa boleh punya waktu untuk berpikir, walau tidak juga setiap Senin harganya naik, bukan?
Faktanya, benar harga properti punya kecenderungan untuk terus naik. Terbukti dari bagaimana bank mau memberikan tenor kredit yang relatif panjang, hingga puluhan tahun.
Sementara barang yang nilainya menyusut pasti sulit memperoleh kredit jangka panjang. Ada kekhawatiran nilainya sudah terdepresiasi habis sebelum cicilan selesai. Dengan kata lain, bank akan “memiliki” barang yang nilainya kurang sebagai jaminan pinjaman.
Tendensi kenaikan harga properti dipengaruhi beberapa hal. Pertama, lahan merupakan produk yang tidak bisa digandakan dan bersifat unik. Dalam konteks properti, lahan tidak melulu hanya soal ukuran, tapi juga dari lokasi, lingkungan, detail posisi, nomor kavling, dan lain sebagainya.
Semua hal ini unik dan tidak bisa diduplikasi. Tak heran jika investor properti akan selalu “teriak” lokasi, lokasi, dan lokasi. Pun ketika lahan bisa direproduksi melalui proses reklamasi, tetap saja lokasi dan detail posisinya tidak mungkin bisa diduplikat sama persis.
Faktor kedua yang memengaruhi nilai lahan adalah lingkungan dengan kecenderungan juga terus berkembang. Kecuali ada kejadian luar biasa, sebuah lingkungan akan kian ramai, semakin lengkap, makin hidup, yang juga turut mendorong naiknya harga lahan.
Bahkan ketika fasilitas lingkungan sekitar sudah mulai menua dan nilainya terdepresiasi, harga lahan tidak ikut turun melainkan masih bergerak naik perlahan, meski tidak drastis.
Kejadian luar biasa di atas misalnya adalah jalan non-tol Jalur Pantura. Jalur ini sebelumnya ramai dilewati kendaraan, kini harus berbagi dengan Tol Cikampek-Palimanan yang menyedot sebagian besar kendaraan. Kondisi ini menurunkan daya tarik lingkungan terhadap jalan non tol Jalur Pantura.
Faktor ketiga adalah kepentingan pengembang untuk menaikkan harga secara berkala di sekitar kawasan tertentu sebagai upaya membentuk persepsi terkait nilai investasinya. Sudah jadi rahasia umum bahwa banyak pengembang melakukan praktik ini untuk menarik minat beli.
Salah satu faktor psikologis adalah persepsi nilai pengembalian investasi ketika harganya naik. Persepsi hanya bisa berhasil dibangun jika dilakukan bersama-sama. Di situlah pengembang punya kesempatan, karena mereka memiliki land bank yang cukup untuk bisa membentuk harga psikologis.
Contoh nyata peran faktor psikologis dalam mendorong harga bisa dilihat di area Kelapa Gading, Jakarta Utara. Siapa yang tidak tahu bahwa Kelapa Gading merupakan area langganan banjir?
Tengok saja bagaimana harga lahan dan properti di kawasan ini tetap tinggi dan terus naik. Penyebabnya, faktor psikologis dari persepsi bahwa area ini dianggap sebagai jalur naga yang dipercaya membawa keberuntungan tertentu.
Faktor keempat adalah adanya transaksi. Lihatlah area-area dengan transaksi cepat di sektor properti.