Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Meski Ada Program 100-0-100, Tak Ada Jaminan Jakarta Bebas Kumuh

Kompas.com - 25/07/2018, 15:30 WIB
Dani Prabowo,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS.comJelang pelaksanaan Asian Games ke-18 di Jakarta, berbagai persoalan yang semestinya dapat diselesaikan sejak dini justru bermunculan.

Sebut saja, penataan trotoar di kawasan Jalan Sudirman-Thamrin yang tak kunjung selesai, serta rusaknya Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kalijodo karena minim perawatan.

Belum lagi persoalan bau serta hitamnya Kali Sentiong atau yang lebih dikenal sebagai Kali Item, yang mengalir di samping Wisma Atlet Kemayoran.

Padahal, Jakarta merupakan ibu kota, sekaligus etalase Negara Indonesia. Seluruh mata bangsa-bangsa Asia memandang Jakarta selama dua pekan penyelenggaraan perhelatan olahraga akbar ini yang dimulai pada 18 Agustus mendatang.

Kompas.com mencoba mengurai permasalahan Metropolitan Jakarta dari berbagai sudut pandang, arsitektur, desain perkotaan, penataan ruang dan wilayah, dan sosial ekonomi, berikut solusinya.

Artikel ini merupakan bagian keenam dari liputan khusus  Jakarta Menantang Zaman. Bagian pertama Anda bisa membuka tautan ini, artikel kedua ada di sini, tulisan ketiga bisa Anda lihat pada tautan berikut ini, artikel keempat bisa dilihat di sini, dan bagian kelima di tautan ini.


Jakarta kumuh

Sama halnya dengan betonisasi dinding sungai, pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) di Jakarta dinilai bukan solusi komprehensif untuk menyelesaikan masalah hunian masyarakat.

Suasana deretan rumah kumuh di bantaran kali di Jalan Jati Bunder, Kelurahan Kebon Melati, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (5/9/2017). Pemprov DKI Jakarta bersama dengan Pemerintah Pusat akan menata kawasan kumuh melalui program 100-0-100 yang dicanangkan Kementerian Pekerjaan umum dan Perumahan Rakyat dengan target Jakarta bebas dari kawasan kumuh pada 2019 mendatang.KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG Suasana deretan rumah kumuh di bantaran kali di Jalan Jati Bunder, Kelurahan Kebon Melati, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Selasa (5/9/2017). Pemprov DKI Jakarta bersama dengan Pemerintah Pusat akan menata kawasan kumuh melalui program 100-0-100 yang dicanangkan Kementerian Pekerjaan umum dan Perumahan Rakyat dengan target Jakarta bebas dari kawasan kumuh pada 2019 mendatang.
Menurut arsitek dari Studio Akanoma, Yu Sing, betonisasi dan rusunawa sama-sama solusi sementara yang bersifat kosmetik.

Artinya, kehadiran keduanya belum menyelesaikan pokok persoalan, yaitu kepemilikan hunian serta kawasan kumuh.

Berdasarkan data Evaluasi RW Kumuh Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, setidaknya terdapat 223 RW kumuh. Mereka tersebar di 181 kelurahan dari total 261 kelurahan, dengan luas mencapai 1.024,52 hektar.

Baca juga: Rusunawa, Solusi atau Masalah Baru Bagi Jakarta?"Kenapa harus bangun rusunawa? Kenapa tidak membangun kota sekaligus?" kata Yu Sing saat berbincang dengan Kompas.com, Selasa (24/7/2018).

Yu Sing mengatakan, untuk membangun sebuah rusunawa setidaknya membutuhkan anggaran antara Rp 100 juta hinggga Rp 200 juta, untuk ukuran 25-30 meter persegi.

Pemukiman Warga dengan tampilan berwarna warni di wilayah Kelurahan Sunter Jaya, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Minggu (25/3/2018). Pemprov DKI Jakarta melakukan program pengecatan kampung warna-warni di kawasan Danau Sunter untuk memperindah lingkungan sekaligus guna mengubah kesan kumuh kawasan tersebut.KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG Pemukiman Warga dengan tampilan berwarna warni di wilayah Kelurahan Sunter Jaya, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Minggu (25/3/2018). Pemprov DKI Jakarta melakukan program pengecatan kampung warna-warni di kawasan Danau Sunter untuk memperindah lingkungan sekaligus guna mengubah kesan kumuh kawasan tersebut.
Itu belum termasuk anggaran pembebasan lahan serta subsidi agar masyarakat berpenghasilan rendah yang akan menghuninya, tidak terbebani pengeluaran yang besar. Untuk subsidi saja, kira-kira dibutuhkan Rp 1 juta per bulan per unit.

Bila itu dikalikan dengan masa tinggal warga minimal 20 tahun, maka anggaran subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah sebesar Rp 240 juta.

"Rp 240 juta hilang hanya untuk subsidi, tidak jadi apa-apa," kata dia.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau