BANDUNG, KOMPAS.com - Jelang pelaksanaan Asian Games ke-18 di Jakarta, berbagai persoalan yang semestinya dapat diselesaikan sejak dini justru bermunculan.
Sebut saja, penataan trotoar di kawasan Jalan Sudirman-Thamrin yang tak kunjung selesai, serta rusaknya Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kalijodo karena minim perawatan.
Belum lagi persoalan bau serta hitamnya Kali Sentiong atau yang lebih dikenal sebagai Kali Item, yang mengalir di samping Wisma Atlet Kemayoran.
Baca juga: Sebelum ke Malaysia, Prabowo Arahkan Pesawat Kepresidenan ke Bengkulu Jemput Asprinya
Padahal, Jakarta merupakan ibu kota, sekaligus etalase Negara Indonesia. Seluruh mata bangsa-bangsa Asia memandang Jakarta selama dua pekan penyelenggaraan perhelatan olahraga akbar ini yang dimulai pada 18 Agustus mendatang.
Kompas.com mencoba mengurai permasalahan Metropolitan Jakarta dari berbagai sudut pandang, arsitektur, desain perkotaan, penataan ruang dan wilayah, dan sosial ekonomi, berikut solusinya.
Artikel ini merupakan bagian keenam dari liputan khusus Jakarta Menantang Zaman. Bagian pertama Anda bisa membuka tautan ini, artikel kedua ada di sini, tulisan ketiga bisa Anda lihat pada tautan berikut ini, artikel keempat bisa dilihat di sini, dan bagian kelima di tautan ini.
Jakarta kumuh
Baca juga: Cara Terdaftar Jadi Penerima Dana PIP, Siswa SD-SMA Ikuti Langkah Ini
Sama halnya dengan betonisasi dinding sungai, pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa) di Jakarta dinilai bukan solusi komprehensif untuk menyelesaikan masalah hunian masyarakat.
Artinya, kehadiran keduanya belum menyelesaikan pokok persoalan, yaitu kepemilikan hunian serta kawasan kumuh.
Berdasarkan data Evaluasi RW Kumuh Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, setidaknya terdapat 223 RW kumuh. Mereka tersebar di 181 kelurahan dari total 261 kelurahan, dengan luas mencapai 1.024,52 hektar.
Baca juga: Rusunawa, Solusi atau Masalah Baru Bagi Jakarta?"Kenapa harus bangun rusunawa? Kenapa tidak membangun kota sekaligus?" kata Yu Sing saat berbincang dengan Kompas.com, Selasa (24/7/2018).
Yu Sing mengatakan, untuk membangun sebuah rusunawa setidaknya membutuhkan anggaran antara Rp 100 juta hinggga Rp 200 juta, untuk ukuran 25-30 meter persegi.
Bila itu dikalikan dengan masa tinggal warga minimal 20 tahun, maka anggaran subsidi yang harus dikeluarkan pemerintah sebesar Rp 240 juta.
Baca juga: Najwa Shihab: Prabowo Ditanya Teror Kepala Babi Tempo hingga RUU TNI Saat Bertemu di Hambalang
"Rp 240 juta hilang hanya untuk subsidi, tidak jadi apa-apa," kata dia.
Selain itu, tidak ada jaminan bahwa masyarakat yang telah pindah ke rusunawa hidupnya akan jauh lebih sejahtera.
Sebaliknya, mereka juga akan dihadapkan pada sejumlah persoalan lainnya, seperti jauhnya lokasi tempat tinggal dari tempat kerja hingga beratnya pengeluaran untuk ongkos pekerjaan.
Baca juga: Dewi Yull Ungkap Satu Pesan pada Anak-anaknya agar Tak Membenci Ray Sahetapy Usai Bercerai
100 yang pertama adalah bagaimana akses air minum terpenuhi untuk masyarakat tercapai 100 persen, 0 yang ke dua adalah bagaimana kawasan kumuh itu hilang hingga target 0 persen. Sementara, 100 yang ke tiga adalah bagaimana sanitasi lingkungan terpenuhi dengan baik.
"Program ini juga tidak menyelesaikan masalah. Karena nantinya akan kumuh lagi kok. Karena apa? Intinya adalah kesejahteraan keluarga," imbuh Yu Sing.
Baca juga: Apakah Niat Puasa Syawal dan Puasa Senin Kamis Boleh Digabung?
Karena itu, ia menyarankan, agar pemerintah dapat membuat solusi yang lebih kompleks untuk menyelesaikan masalah hunian ini.
Solusi yang dibuat seharusnya juga mempertimbangkan aspek kemudahan keterjangkauan lokasi kerja serta penambahan tempat tinggal yang nyaman bagi masyarakat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.