BANDUNG, KOMPAS.com - Jelang pelaksanaan Asian Games ke-18 di Jakarta, berbagai persoalan yang semestinya dapat diselesaikan sejak dini justru bermunculan.
Sebut saja, penataan trotoar di kawasan Jalan Sudirman-Thamrin yang tak kunjung selesai, serta rusaknya Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA) dan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kalijodo karena minim perawatan.
Belum lagi persoalan bau serta hitamnya Kali Sentiong atau yang lebih dikenal sebagai Kali Item, yang mengalir di samping Wisma Atlet Kemayoran.
Baca juga: Soal Kali Item, Pemerintah Pusat Turun Tangan Atasi Aliran Air
Padahal, Jakarta merupakan ibu kota, sekaligus etalase Negara Indonesia. Seluruh mata bangsa-bangsa Asia memandang Jakarta selama dua pekan penyelenggaraan perhelatan olahraga akbar ini yang dimulai pada 18 Agustus mendatang.
Kompas.com mencoba mengurai permasalahan Metropolitan Jakarta dari berbagai sudut pandang, arsitektur, desain perkotaan, penataan ruang dan wilayah, dan sosial ekonomi, berikut solusinya.
Artikel ini merupakan bagian ketiga dari liputan khusus Jakarta Menantang Zaman. Bagian pertama Anda bisa membuka tautan ini Persoalan Jakarta Mirip Penyakit Kronis Manusia dan bagian kedua ada di sini Hikayat Betonisasi, dan Paradigma Mengeringkan Jakarta.
Belajar dari Jepang
Sama seperti Indonesia saat ini, Pemerintah Jepang setelah Perang Dunia Kedua hingga 1990-an mengambil alih sepenuhnya sistem pengelolaan sungai.
Mereka melapisi dinding sungai dengan beton untuk mengatasi persoalan banjir yang terjadi. Alih-alih dapat mengatasi masalah, langkah tesebut justru merusak sungai.
Butuh waktu sekitar 15 tahun bagi Jepang untuk menyelesaikan proyek restorasi sungai. Setidaknya, ada sekitar 23.000 proyek restorasi yang dikerjakan untuk memulihkan kondisi sungai yang telah rusak.
"Amerika Serikat (AS) lebih banyak. Dalam periode yang sama, di AS ada sekitar 30.000 proyek restorasi sungai," kata Yu Sing.
Menurut Yu Sing, baik Jepang maupun AS menyadari bahwa cara terbaik menangani persoalan banjir yaitu bukan melawannya, tetapi justru bersahabat dengan mereka.
Di Jepang misalnya, sistem pengendalian banjir tidak hanya fokus pada pembenahan sungai. Tetapi juga memaksimalkan area yang ada untuk menambah area biru kolam retensi.
Jadi, ketika volume air sungai meningkat, air dapat ditampung di area sekitar stadion yang memang difungsikan sebagai daerah retensi.
Setelah aliran sungai kembali normal, air tersebut dapat kembali dialirkan ke sungai setelah sebelumnya sebagian terserap oleh tanah di sekitar stadion.
Di samping itu, Yu Sing menambahkan, Jepang juga banyak memanfaatkan ruang publik yang ada, seperti lapangan, taman, dan sekolah sebagai fasilitas penampung air hujan.
Ia mengatakan, bila pemerintah tetap bersikeras menggunakan metode yang sama untuk mengatasi banjir dengan membeton sungai, paling tidak teknik yang digunakan dapat lebih dikembangkan.
"Misalnya mengembangkan sistem hibrid antara struktur beton dengan rekayasa hayati. Solusi mekanik atau keteknikan tidak boleh mengorbankan faktor ekologis," tuntas Yu Sing.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.