PEKALONGAN, KOMPAS.com - Seluruh mata orang Indonesia saat ini tertuju pada aktivitas mudik Lebaran 2018. Tol Trans-Jawa adalah bintang dari segala bintang dan menjadi favorit masyarakat untuk pulang ke kampung halaman tahun ini.
Jaringan tol ini membentang dari Merak di Banten hingga Pasuruan di Jawa Timur sepanjang 1.167 kilometer. Dengan melintasi Tol Trans-Jawa, impian para pemudik untuk berbagi kebahagiaan dengan sanak saudara bisa terwujud lebih cepat.
Belum ada yang memungkiri, efektivitas dan efisiensi dengan menggunakan jaringan Tol Trans-Jawa adalah tujuan para perindu tempat kelahiran.
Baca juga: Rekor Baru Mudik, Cikarang-Delanggu 6 Jam! Biasanya 16 Jam
Namun, tahukah Anda, bahwa sejatinya masih terdapat dua opsi jalur lain yang menawarkan nilai lebih dari sekadar efektivitas dan efisiensi?
Jalur Pantai Selatan Jawa (Pansela) adalah salah satunya, selain Jalur Pantai Utara (Pantura). Tim Merapah Trans-Jawa Kompas.com menyusuri Pansela pada Senin (11/6/2018).
Kami memutuskan tidak menyusuri Pansela hingga Banten, melainkan berbelok ke utara menuju jalur tengah dengan melintasi Kabupaten Purbalingga, Banjarnegara, dan mengakhir perjalanan di Kabupaten Pekalongan di Pantai Utara Jawa (Pantura).
Ciamik
Tak seperti Tol Trans-Jawa yang tengah jadi buah bibir, jalan satu ini lebih redup pamornya. Padahal, keberadaannya justru lebih awal daripada Jalan Pos yang membentang dari Anyer sampai Panarukan.
Dari penelusuran sejarah, Tim Merapah Trans-Jawa Kompas.com mendapati jalur ini sudah ada sejak abad ke-4. Ini merupakan jalur upeti kerajaan di Pulau Jawa.
Nama Daendels yang diterakan untuk jalur di selatan tersebut merujuk pada nama Augustus Dirk Daendels, asisten residen Ambal, wilayah pecahan dari Bagelen—sekarang masuk wilayah Kabupaten Purworejo—yang menjabat pada 1838.
Pemasangan nama baru tersebut memang sengaja dilakukan untuk meredupkan pamor Diponegoro dan memori tentangnya.
Informasi soal Daendels yang ini antara lain bisa didapat dari Almanak van Nederlandsch-Indië voor het jaar, terbitan 1839.
Untuk membedakan dengan Jalan Daendels yang membentang dari Anyer hingga Panarukan, pemerintah kolonial Hindia Belanda menyebut Jalan Daendels selatan sebagai “Jalan Utama”.