Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bernardus Djonoputro
Ketua Majelis Kode Etik, Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP)

Bernardus adalah praktisi pembiayaan infrastruktur dan perencanaan kota. Lulusan ITB jurusan Perencanaan Kota dan Wilayah, dan saat ini menjabat Advisor Senior disalah satu firma konsultan terbesar di dunia. Juga duduk sebagai anggota Advisory Board di Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan, Institut Teknologi Bandung ( SAPPK ITB).

Selain itu juga aktif sebagai Vice President EAROPH (Eastern Region Organization for Planning and Human Settlement) lembaga afiliasi PBB bidang perencanaan dan pemukiman, dan Fellow di Salzburg Global, lembaga think-tank globalisasi berbasis di Salzburg Austria. Bernardus adalah Penasehat Bidang Perdagangan di Kedubes New Zealand Trade & Enterprise.

Tetanggaku Teroris?

Kompas.com - 19/05/2018, 21:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dan sekarang, ditambah satu lagi perihal penyiapan teror. Kita jadi bertanya, apakah tetangga kita teroris?

Apakah ada yang salah dengan kota kita?

Kejadian luar biasa di Surabaya membuka mata kita, bahwa kota kita sangat manusiawi, hidup dan berkembang bersama warganya.

Masih segar dalam ingatan saya, 18 belas tahun lalu keyika bom teroris diledakkan di gedung Bursa Efek Jakarta tempat saya bekerja tepat di depan mobil milik saya yang diparkir di ruang bawah tanah 2.

Hanya berselang dua tahun dari saat bersama rekan-rekan profesional kami menyerukan gerakan moral reformasi di gedung yang sama untuk menurunkan rezim.

Kota Jakarta, dan kota-kota lain Indonesia tidak lagi sama setelah tahun 2000. Semua gedung dan fasilitas publik kini tidak lagi memberi ruang bebas kita bergerak. Pemerikasaan ketat dan metal detector menjadi fitur penghubung warga dengan fasilitas publik.

Surabaya pun kini baru saja dibunyikan alarm bagun pagi nya. Kota terbesar kedua di Indonesia ini harus mengevaluasi dan menata perbaikan.

Ternyata manajemen kota mikro saat ini dengan melihat kota Surabaya ke dalam, untuk warga Surabaya, tidak serta merta menjamin kehidupan warga yang aman. Ada faktor tetangga yang hilang, dan nilai-nilai bertetangga terancam.

Kalau kita teliti skala, pola ruang kegiatan dan membaurnya teroris diantara kehidupan sehari-hari warga kota, maka perlu ditinjau kembali efektifitas visi manajemen kota. Dengan jumlah penduduk 3,2 juta, kota Surabaya tidak berdiri sendiri secara eksklusif.

Seorang anak melintasi gang warna-warni di kampung Rawabambu, Kalibaru, Bekasi, Kamis (8/2/2018). Penataan kawasan kumuh terus dilakukan di BekasiKompas.com/Setyo Adi Seorang anak melintasi gang warna-warni di kampung Rawabambu, Kalibaru, Bekasi, Kamis (8/2/2018). Penataan kawasan kumuh terus dilakukan di Bekasi
Cairnya kehidupan warga lintas yuridiksi daerah, menuntut pemkot harus menjadi bagian tak terpisahkan dari manajemen megapolitan Gerbangkertasusila dengan total penduduk kira-kira 11 juta.

Arus komuter semakin besar. Harusnya, angka itulah yang menjadi baseline perencanaan dan manajemen kota.

Kota ini membutuhkan visi yang jelas sebagai bagian dari kota-kota dunia yang berpengaruh. Jangan hanya fokus jadi kota kecil.

Megapolitan ini adalah kota terbesar kedua setelah Jakarta di belahan bumi Selatan Asia Pacific, lebih besar dari kota manapun di Australia dan lain-lain.

Dengan demikian sepatutnya kota Surabaya mampu beradaptasi dengan dorongan kota yang semakin kosmopolitan, beragam dan terus menerus menerima masuk dan keluar orang-orang luar.

Pemerintah kota harus menyadari bahwa kota semakin mendunia, baik karena perkembangan transportasi, bisnis, tapi juga kemudahan karena internet-of-things.

Halaman:


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau