Sejujurnya saya begitu berapi-api membanggakan kepada para mitra asing yang hadir, betapa dinamika dan kemajuan di kota Surabaya, dengan ciri kehidupan ruang-ruang kota yang nyata lebih tertata dibandingkan kota lain di Indonesia.
Hanya berselang tiga hari, terjadi malapetaka keganasan teroris yang merobek-robek hati kita. Bagaimana tidak, teror keji dilakukan oleh keluarga, unit inti dari masyarakat di mana akhlak dan hal-hal privat dan kepatutan seharusnya dibangun.
Teror terjadi dalam pola realita ruang kota, di mana hak masyarakat untuk hidup aman dan nyaman dicerabut secara paksa.
Secara fisik kota, runtutan kejadian dan lokasi tinggal para teroris memperlihatkan realita pola interaksi yang signifikan dalam konteks ruang kota.
Rupanya ini menjadi radius taktis serangan, sehingga dengan motor roda dua, dapat dilakukan simultan bersamaan.
Dari tempat tinggal pelaku utama di Wisma Indah, Kelurahan Wonorejo di Rungkut, targetnya berjarak 9 kilometer, atau maksimal 10-15 menit bersepeda motor.
Yang menarik, kalau kita petakan jarak relatif tempat-tempat di mana aparat menengarai tinggal para komplotan, Jalan Sikatan, Puri Maharani Sukodono, Rusunawa Wonocolo, Dukuh Pakis.
Walaupun semua berjarak dalam radius 10 kilometer dari episentrum, namun berlokasi juga di kabupaten sebelahnya.
Banyak perihal kemanusiaan terjadi dalam level tetangga. Dari mulai interaksi remaja yang menghasilkan persemaian cinta monyet sampai berjodoh membangun keluarga.
Dari perkelahian antarlorong, petualangan malam di lokasi layar tancap misbar (gerimis bubar), sampai perselingkuhan di taman sebelah yang lebih hijau rumputnya.
Banyak potensi kebersamaan terjalin kuat, menghadapi tantangan keamanan, keteraturan, dan siskamling alias begadang bersama tetangga sebelah.
Dan sekarang, ditambah satu lagi perihal penyiapan teror. Kita jadi bertanya, apakah tetangga kita teroris?
Apakah ada yang salah dengan kota kita?
Kejadian luar biasa di Surabaya membuka mata kita, bahwa kota kita sangat manusiawi, hidup dan berkembang bersama warganya.
Masih segar dalam ingatan saya, 18 belas tahun lalu keyika bom teroris diledakkan di gedung Bursa Efek Jakarta tempat saya bekerja tepat di depan mobil milik saya yang diparkir di ruang bawah tanah 2.
Hanya berselang dua tahun dari saat bersama rekan-rekan profesional kami menyerukan gerakan moral reformasi di gedung yang sama untuk menurunkan rezim.
Surabaya pun kini baru saja dibunyikan alarm bagun pagi nya. Kota terbesar kedua di Indonesia ini harus mengevaluasi dan menata perbaikan.
Ternyata manajemen kota mikro saat ini dengan melihat kota Surabaya ke dalam, untuk warga Surabaya, tidak serta merta menjamin kehidupan warga yang aman. Ada faktor tetangga yang hilang, dan nilai-nilai bertetangga terancam.
Kalau kita teliti skala, pola ruang kegiatan dan membaurnya teroris diantara kehidupan sehari-hari warga kota, maka perlu ditinjau kembali efektifitas visi manajemen kota. Dengan jumlah penduduk 3,2 juta, kota Surabaya tidak berdiri sendiri secara eksklusif.
Arus komuter semakin besar. Harusnya, angka itulah yang menjadi baseline perencanaan dan manajemen kota.
Kota ini membutuhkan visi yang jelas sebagai bagian dari kota-kota dunia yang berpengaruh. Jangan hanya fokus jadi kota kecil.
Megapolitan ini adalah kota terbesar kedua setelah Jakarta di belahan bumi Selatan Asia Pacific, lebih besar dari kota manapun di Australia dan lain-lain.
Dengan demikian sepatutnya kota Surabaya mampu beradaptasi dengan dorongan kota yang semakin kosmopolitan, beragam dan terus menerus menerima masuk dan keluar orang-orang luar.
Pemerintah kota harus menyadari bahwa kota semakin mendunia, baik karena perkembangan transportasi, bisnis, tapi juga kemudahan karena internet-of-things.
Tren kota layak huni dunia saat ini membentuk compact city, di mana warga hidup dalam unit-unit lingkungan yang semakin padat.
Infrastruktur massal kota pun didesain berskala manusia, berbasis pejalan kaki dan kendaraan umum, dengan intensitas bangunan tinggi.
Perencanaan sosial kemasyarakat, aturan komunitas hidup bertetangga dan saluran kearifan lokal, harus dapat diserap dalam proses perancanaan dan rancang kota.
Mari bebenah, semangat!
https://properti.kompas.com/read/2018/05/19/210000521/tetanggaku-teroris-