KAMIS minggu lalu, berkumpul para periset dan ahli dari universitas terkemuka di Surabaya. Saya hadir dalam rangka melaksanakan tugas sebagai Penasihat Infrastruktur di Australia Indonesia Center.
Sejujurnya saya begitu berapi-api membanggakan kepada para mitra asing yang hadir, betapa dinamika dan kemajuan di kota Surabaya, dengan ciri kehidupan ruang-ruang kota yang nyata lebih tertata dibandingkan kota lain di Indonesia.
Hanya berselang tiga hari, terjadi malapetaka keganasan teroris yang merobek-robek hati kita. Bagaimana tidak, teror keji dilakukan oleh keluarga, unit inti dari masyarakat di mana akhlak dan hal-hal privat dan kepatutan seharusnya dibangun.
Teror terjadi dalam pola realita ruang kota, di mana hak masyarakat untuk hidup aman dan nyaman dicerabut secara paksa.
Secara fisik kota, runtutan kejadian dan lokasi tinggal para teroris memperlihatkan realita pola interaksi yang signifikan dalam konteks ruang kota.
Rupanya ini menjadi radius taktis serangan, sehingga dengan motor roda dua, dapat dilakukan simultan bersamaan.
Dari tempat tinggal pelaku utama di Wisma Indah, Kelurahan Wonorejo di Rungkut, targetnya berjarak 9 kilometer, atau maksimal 10-15 menit bersepeda motor.
Yang menarik, kalau kita petakan jarak relatif tempat-tempat di mana aparat menengarai tinggal para komplotan, Jalan Sikatan, Puri Maharani Sukodono, Rusunawa Wonocolo, Dukuh Pakis.
Walaupun semua berjarak dalam radius 10 kilometer dari episentrum, namun berlokasi juga di kabupaten sebelahnya.
Banyak perihal kemanusiaan terjadi dalam level tetangga. Dari mulai interaksi remaja yang menghasilkan persemaian cinta monyet sampai berjodoh membangun keluarga.
Dari perkelahian antarlorong, petualangan malam di lokasi layar tancap misbar (gerimis bubar), sampai perselingkuhan di taman sebelah yang lebih hijau rumputnya.
Banyak potensi kebersamaan terjalin kuat, menghadapi tantangan keamanan, keteraturan, dan siskamling alias begadang bersama tetangga sebelah.