Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Digempur China, Industri Keramik Nasional Terpukul

Kompas.com - 28/02/2018, 17:31 WIB
Dani Prabowo,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Industri keramik dalam negeri kian terpukul. Sejumlah pelaku usaha mulai menghentikan produksinya.

Ajang Keramika 2018 yang bakal dihelat pertengahan Maret mendatang, diharapkan dapat menggairahkan industri ini kembali.

Baca juga : Harga Gas Tinggi, 5 Perusahaan Keramik Gulung Tikar

Saat ini, Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (ASAKI) mencatat, hampir sepuluh pelaku industri keramik Tanah Air mulai menghentikan proses produksi mereka. Padahal, jumlah produsen industri ini hanya ada 46.

Kehadiran keramik impor asal China ditengarai menjadi salah satu faktor penyebabnya. Pemerintah negeri tirai bambu itu disebut terus menggenjot pelaku industri dalam negeri mereka untuk berekspansi ke negara lain, termasuk Indonesia.

"2018 diduga akan lebih banyak lagi barang masuk dari China karena ada hal-hal yang berkait bea masuk impor keramik dari China," kata Ketua Umum ASAKI Elisa Sinaga di Jakarta, Rabu (28/2/2018).

Baca juga : Pemerintah Ajak Italia Selenggarakan Pendidikan Khusus Keramik

Elisa menyebut, kebutuhan keramik dalam negeri China hanya separuh dari produksi mereka. Sementara produksi keramik mereka mencapai 8 juta meter persegi setiap tahunnya.

Adanya kerja sama yang tertuang di dalam Asean China Free Trade Agreement, justru kian berpotensi menggerus produsen lokal.

Bayangkan saja, saat bea masuk impor keramik China masih 20 persen saja, pertumbuhan impornya mencapai 22 persen setiap tahun.

"Awal tahun ini kita kena. (Bea) impor China turun dari 20 persen jadi 5 persen. Itu pun akan mempengharuhi pasar kita," kata Elisa.

Ilustrasi keramikshutterstock Ilustrasi keramik
Faktor lain yaitu tingginya harga gas industri yang dipatok pemerintah. Meski pada 2014 lalu, harga gas dunia sempat turun, tidak demikian dengan harga gas di dalam negeri.

Asal tahu saja, harga gas industri saat ini sekitar 8,03 dollar AS per MMBTU di Jawa Timur. Sementara di Jawa Barat harga gas mencapai 9,15 per MMBTU, bahkan mencapai 9,8 dollar AS per MMBTU di Sumatera Utara.

Di sisi lain, China telah menggunakan batu bara sebagai bahan bakar untuk produksi keramik mereka. Dimana harga batu bara hanya sepertiga harga gas.

Melambat

Lebih jauh, terpukulnya industri ini juga disebabkan turunnya industri properti. Meski sempat jaya pada 2011-2013, namun dalam tiga tahun terakhir industri ini terpukul yang memberikan dampak kepada 140 industri penyertanya termasuk keramik.

"Semen juga mengalami masalah yang sama," sebut Elisa.

Untuk itu, Elisa berharap, pemerintah dapat mengeluarkan sejumlah kebijakan yang bisa membantu pelaku industri keramik.

Indonesia sendiri termasuk negara produsen keramik ketujuh terbesar di dunia dengan produksi mencapai 380 juta meter persegi pertahun.

IlustrasiShutterstock Ilustrasi
Salah satu langkah yang bisa dilakukan pemerintah yaitu dengan memberikan harga gas industri yang lebih kompetitif. Hal ini bertujuan agar dapur industri semi padat karya ini masih bisa tetap ngebul.

Sekadar informasi, jumlah karyawan industri ini awalnya mencapai 200.000 orang untuk empat sektor yaitu tiles, tableware, roof/clay, dan sanitaryware.

Namun, lebih dari 10.000 diantaranya khususnya pada sektor tiles diperkirakan sudah dirumahkan karena masa paceklik saat ini.

"Ini tujuannya untuk mendorong industri keramik yang sangat berat karena demand yang turun, biaya produksi naik. Karena ada kewajiban dari kami ini untuk menjaga lapangan pekerjaan," tutup Elisa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau