Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tiga Faktor Penyebab Maraknya Kecelakaan Infrastruktur

Kompas.com - 13/02/2018, 09:00 WIB
Dani Prabowo,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Realisasi proyek infrastruktur memang dapat dilihat oleh masyarakat. Sejauh mata memandang, hampir di setiap daerah terdapat proyek infrastruktur yang tengah dipercepat pengerjaannya.

Persoalannya, apakah pekerjaan proyek infrastruktur yang terlihat itu telah memenuhi kaidah keamanan dan keselamatan kerja yang berlaku.

Baca juga : Komisi V DPR: Kecelakaan Marak, Direksi Waskita Harus Mundur

Kenyataannya, dalam enam bulan terakhir setidaknya terjadi 12 kasus kecelakaan konstruksi.

Enam orang meninggal dunia dan sepuluh orang luka-luka akibat kasus kecelakaan kerja yang terjadi.

Tim Lafor Mabes Polri Cabang Surabaya melakukan penyelidikan sekaligus investigasi ambruknya grider flayover tol Pasuruan-ProbolinggoKOMPAS.com/Moh.Anas Tim Lafor Mabes Polri Cabang Surabaya melakukan penyelidikan sekaligus investigasi ambruknya grider flayover tol Pasuruan-Probolinggo
Belum lagi satu orang meninggal dunia dan dua orang luka-luka akibat insiden yang terjadi pada proyek infrastruktur yang telah rampung dan beroperasi.

Bila dijumlah, total korban meninggal dunia sebanyak tujuh orang dan 12 orang mengalami cedera, baik luka ringan maupun luka ringan.

Baca juga : Akibat Serentetan Kecelakaan Kerja, Waskita Karya Dijatuhi Sanksi

Kerugian itu belum termasuk kerugian materill dan imateriil, serta waktu penyelesaian proyek yang terpaksa harus mundur akibat kelalaian kinerja kontraktor.

Menurut pengamat kebijakan publim Agus Pambagio, ada beberapa faktor yang menyebabkan kasus kecelakaan kerja terus terulang.

"Pertama, kasus kecelakaan yang terjadi tidak diinvestigasi dengan baik, lalu muncul siapa orang yang paling bertanggung jawab. Dan tidak ada sanksi (tegas)," kata Agus kepada Kompas.com, Senin (12/2/2018).

Kondisi box girder LRT yang roboh di Kayu Putih, Jakarta Timur, Senin (22/1/2018)Stanly Ravel Kondisi box girder LRT yang roboh di Kayu Putih, Jakarta Timur, Senin (22/1/2018)
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono memang telah menerbitkan Keputusan Menteri Nomor 66 /KPTS/M/2018 tentang Komite Keselamatan Konstruksi (KKK).

Namun Agus menyayangkan, komite tersebut hanya akan bekerja mengawasi proyek-proyek yang masuk di dalam anggaran belanja kementerian tersebut.

Setidaknya hal itu terlihat pada keberadaan tiga Sub Komite yang ada di dalamnya, yaitu Jalan dan Jembatan, Bangunan Gedung, serta Sumber Daya Air.

Faktor kedua, yaitu tidak maksimalnya kinerja konsultan pengawas yang disewa untuk mengawasi proyek. Terutama untuk konsultan dalam negeri. Padahal, mereka telah dibayar untuk mengawasi pekerjaan konstruksi dengan benar.

Puing-puing beton sisa reruntuhan tembok Perimeter Selatan Bandara Soekarno-Hatta dibersihkan dari badan jalan, Kamis (8/2/2018).Ridwan Aji Pitoko/KOMPAS.com Puing-puing beton sisa reruntuhan tembok Perimeter Selatan Bandara Soekarno-Hatta dibersihkan dari badan jalan, Kamis (8/2/2018).
"Kan untuk pekerjaan konstruksi harus ada konsultan pengawas. Memang dibayar juga dengan proyek. Tapi ini terjadi, karena selain kesalahan ahli konstruksinya juga tidak ada pengawasan," tutur Agus.

Lain halnya ketika sebuah proyek digarap oleh kontraktor dan diawasi oleh konsultan asing. Menurut dia, pekerjaan mereka relatif lebih baik daripada pekerjaan kontraktor dan konsultan lokal.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau