JAKARTA, KOMPAS.com - Tak semudah membalikkan telapak tangan. Itulah gambaran yang paling tepat untuk mengatasi persoalan kejadian luar biasa (KLB) gizi buruk dan campak yang terjadi di Kabupaten Asmat, Papua.
Retorika yang menyebut pembangunan infrastruktur hanya dimanfaatkan segelintir masyarakat pun, tak tepat pula.
Baca juga : Membumikan Harapan Lewat Trans-Papua Sisi Selatan
Nyatanya, infrastrukturlah yang kini menjadi persoalan utama di kabupaten yang dihuni sekitar 94.227 orang berdasarkan data BPS pada 2014 lalu.
Untuk mengakses wilayah kabupaten seluas 31.984 kilometer persegi itu, dibutuhkan waktu yang cukup lama dan melelahkan.
Asmat hanya bisa ditempuh lewat perjalanan udara hingga Jayapura, akses selanjutnya juga harus dengan cara yang sama menuju Timika.
Begitu sampai Timika, cuma dua pilihan tranportasi yang tersedia yaitu menggunakan kapal melewati laut dengan waktu tempuh 7-8 jam, atau kembali lewat jalur udara menuju Bandara Ewer dalam waktu 45 menit.
Dalam video yang ditayangkan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), tim gabungan yang terdiri atas Ditjen Bina Marga, Ditjen Cipta Karya, Ditjen Penyediaan Perumahan dan Ditjen Sumber Daya Air memilih menempuh jalur udara.
Umumnya, tulisan selamat datang yang terdapat di bandara-bandara, akan dibuat semegah mungkin. Namun hal demikian tidak ada di Bandara Ewer.
Hanya ada tulisan 'Selamat Datang di Asmat' sederhana berwarna biru muda yang terbuat dari pelat besi berlatar belakang papan kawat.
Anda harus kembali menempuh perjalanan dengan menggunakan boat selama kurang lebih 30 menit.
Medan yang sulit kembali ditemui ketika tim gabungan tiba di lokasi. Jalanan becek dan berlumpur.
Untuk mengurangi jalan rusak, pemerintah daerah setempat membuat jalan setapak yang terbuat dari karung semen yang sengaja ditumpuk berjajar. Semen di dalam karung tersebut sengaja dibiarkan tetap di dalamnya.
Pemkab Asmat tidak mampu membangun jalan karena tidak ada batu yang bisa digunakan untuk menjadi pondasinya.
Sementara, untuk mendatangkan batu, harus dikirim dari Surabaya, Poso atau Palu. Tentu membutuhkan biaya tidak sedikit untuk mengirimnya.
Selain infrastruktur konektivitas, persoalan utama lainnya yang dihadapi masyarakat Asmat adalah sulitnya mendapatkan akses air bersih.
Pemerintah sebenarnya telah membangun Instalasi Pengelolaan Air (IPA) pada 2006 lalu. Namun kapasitasnya masih terbatas.
Tak heran bila kondisi tersebut dikeluhkan anak-anak hingga orang dewasa.
"Bapa kami butuh air bersih," pinta sejumlah anak-anak dalam video.
Meski demikian, dari sisi kualitas, air yang ditampung IPA telah memenuhi standar mutu kualitas sumber air baku. Meskipun, airnya berwarna coklat akibat tingginya kadar gambut.
Embung dipilih lantaran curah hujan di sana cukup tinggi, yaitu mencapai 4.000 mililiter per tahun.
Di samping itu, juga akan dibangun sistem Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) minimal tiga untuk setiap distrik. Setidaknya, ada 23 distrik yang terdapat di kabupaten itu.
Persoalan lain yang dihadapi masyarakat yaitu Kabupaten Asmat didominasi rawa. Sehari-hari masyarakat tinggal di rumah panggung yang memang cocok untuk kondisi di sana.
Sayangnya, masyarakat kurang teredukasi dengan baik tentang pentingnya menjaga kebersihan. Sedianya, rumah tersebut telah dilengkapi dengan kamar mandi. Namun, mereka justru lebih gemar buang hajat di hutan.
Kalaupun mereka memilih buang air di kamar mandi, septic tank yang ada tidak cukup memadai menampung kotoran mereka. Alhasil, bila pasang tiba, akan timbul persoalan lain.
Kondisi serupa, juga didapati di sekolah-sekolah serta rumah sakit yang terdapat di sana. Jumlah fasilitas kesehatan dan sekolah sangat terbatas. Belum lagi jumlah tenaga medis serta obat-obatan.
"(Anak saya) panas, beringus (dan) batuk sudah tiga hari. Belum (diperiksa dokter), masih (diminta) mengantri (oleh) suster," ungkap salah seorang penduduk.
Jembatan
Kalaupun ada, jembatan yang mayoritas terbuat dari kayu, sudah banyak yang rusak akibat lapuk. Untuk menunjang moda transportasi, masyarakat cenderung menggunakan perahu.
Untuk itu, pemerintah berencana membangun sejumlah jembatan gantung di sana. Hal itu bertujuan memudahkan akses masyarakat, terutama menuju sekolah dan rumah sakit.
Pemerintah juga berencana membangun 1.150 unit rumah bagi masyarakat di sana. Rumah itu terdiri atas 1.000 unit rumah swadaya dan 150 unit rumah khusus.
Sementara itu, untuk menambah keterampilan masyarakat guna menggerakkan roda perekonomian, pemerintah juga akan membuka lahan tanaman di atas area seluas 28 hektar. Masyarakat akan diperkenalkan dengan teknologi bercocok tanam padi.
"Hanya karena memang belum terbiasa, nanti kami masukkan skema padat karya. Dua tahun pertama kami akan berikan insentif," kata Dirjen Bina Marga Arie Setiadi Moerwanto.
Demikian kompleksnya persoalan di Kabupaten Asmat. Tak hanya masalah infrastruktur, tetapi juga masih rendahnya edukasi di sana. Dibutuhkan kepedulian semua pihak untuk meningkatkan kualitas hidup mereka.
Masyarakat tak butuh retorika. Hanya tindakan nyata, mewujudkan asa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.