NEW YORK, KOMPAS.com - Bisnis ritel saat ini tengah mengalami tantangan besar. Butuh upaya keras untuk menebalkan kembali pundi-pundi.
Sebagai gerai minuman berkelas internasional, Starbucks juga terbawa angin kelesuan ritel. Penjualan tak lagi digdaya.
Hal itu dapat tercermin dari penjualan yang dibukukan Starbucks per akhir 2017. Pertumbuhan penjualan hanya menyentuh dua persen, masih di bawah ekspektasi sejumlah analis.
Angka dua persen tersebut juga masih jauh dari torehan Starbucks dua tahun sebelumnya, yang mampu mencapai sembilan persen.
Chief Executive Officer Starbucks Kevin Johnson telah memaparkan sejumlah penyebab lesunya penjualan gerai kopinya.
Ia menganggap, ogahnya konsumen melirik suvenir khusus akhir tahun dan minuman spesial membuat penjualan Starbucks melorot.
Baca juga: Ada Apa dengan Starbucks?
Namun, kalangan analis Wall Street tak sepenuhnya setuju dengan hal tersebut. Starbucks dinilai perlu mengatasi dua masalah utama, yaitu terlalu banyaknya jumlah toko serta harga jual produk terlampau tinggi.
Starbucks mengoperasikan 14.163 toko di seantaro Negeri Paman Sam atau 127 gerai lebih banyak dari McDonald's.
Menurut sejumlah analis, jumlah toko terlalu banyak itu bersifat kanibal, artinya penjualan antara satu toko dengan toko lainnya akan saling memangsa.
Kondisi itu tentunya melemahkan dominasi Starbucks itu sendiri, dengan memberi angin segar bagi gerai siap saji atau kafe untuk menyalip penjualan Starbucks di suatu wilayah.
Menurut dia, bertambahnya unit memang akan memperkuat portofolio bisnis Starbucks. Namun, hal itu justru menjadi akar penyebab "kesengsaraan" Starbucks sepanjang 2017 lalu.
"Kami meyakini ini (kelebihan unit) merupakan contoh baik kasus kelebihan kapasitas di industri ritel," timpal analis lainnya, John Zolidis dari Quo Vadis Capital, seperti dilansir Reuters, Sabtu (3/2/2018).
Harga