Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Supaya Tak Bangkrut, Starbucks Harus Benahi Dua Hal Ini...

Kompas.com - 04/02/2018, 12:00 WIB
Haris Prahara

Penulis

Sumber Reuters

NEW YORK, KOMPAS.com - Bisnis ritel saat ini tengah mengalami tantangan besar. Butuh upaya keras untuk menebalkan kembali pundi-pundi.

Sebagai gerai minuman berkelas internasional, Starbucks juga terbawa angin kelesuan ritel. Penjualan tak lagi digdaya.

Hal itu dapat tercermin dari penjualan yang dibukukan Starbucks per akhir 2017. Pertumbuhan penjualan hanya menyentuh dua persen, masih di bawah ekspektasi sejumlah analis.

Angka dua persen tersebut juga masih jauh dari torehan Starbucks dua tahun sebelumnya, yang mampu mencapai sembilan persen.

Chief Executive Officer Starbucks Kevin Johnson telah memaparkan sejumlah penyebab lesunya penjualan gerai kopinya.

Ia menganggap, ogahnya konsumen melirik suvenir khusus akhir tahun dan minuman spesial membuat penjualan Starbucks melorot.

Baca juga: Ada Apa dengan Starbucks?

Namun, kalangan analis Wall Street tak sepenuhnya setuju dengan hal tersebut. Starbucks dinilai perlu mengatasi dua masalah utama, yaitu terlalu banyaknya jumlah toko serta harga jual produk terlampau tinggi.

StarbucksShutterstock Starbucks
Sebagai contoh, di Amerika Serikat, Starbucks kini memiliki jumlah gerai lebih banyak dibandingkan McDonald's.

Starbucks mengoperasikan 14.163 toko di seantaro Negeri Paman Sam atau 127 gerai lebih banyak dari McDonald's.

Menurut sejumlah analis, jumlah toko terlalu banyak itu bersifat kanibal, artinya penjualan antara satu toko dengan toko lainnya akan saling memangsa.

Kondisi itu tentunya melemahkan dominasi Starbucks itu sendiri, dengan memberi angin segar bagi gerai siap saji atau kafe untuk menyalip penjualan Starbucks di suatu wilayah.

.VIA THINKSTOCK .
Setelah melakukan penelitian terbaru tentang tren industri restoran, lalu lintas ritel, dan faktor lainnya, analis Bernstein, Sara Senatore, meyakini pandangannya bahwa pertumbuhan unit berlebih justru mengancam Starbucks.

Menurut dia, bertambahnya unit memang akan memperkuat portofolio bisnis Starbucks. Namun, hal itu justru menjadi akar penyebab "kesengsaraan" Starbucks sepanjang 2017 lalu.

"Kami meyakini ini (kelebihan unit) merupakan contoh baik kasus kelebihan kapasitas di industri ritel," timpal analis lainnya, John Zolidis dari Quo Vadis Capital, seperti dilansir Reuters, Sabtu (3/2/2018).

Harga

Lebih lanjut, Zolidis mengatakan, redupnya penjualan Starbucks juga disebabkan terlalu tingginya kenaikan harga jual produk.

Analis Maxim Group Stephen Anderson, yang melakukan penelitian harga kopi di kota besar Amerika Serikat, menyebut, McDonald's kini telah mampu menjual minuman dengan harga lebih rendah dari Starbucks.

Harga jual minuman di McDonald's berkisar 1 sampai 2 dollar AS dan tetap stabil dalam dua tahun terakhir.

Anderson mengatakan, tatkala Dunkin' Donuts menaikkan harga sekitar 1 persen per tahun, Starbucks justru menaikkan harga hingga 3,5 persen. Kondisi ini tentunya membuka peluang perginya konsumen Starbucks ke gerai lain.

Starbucks cokelat pisang di Jepang. Insider Starbucks cokelat pisang di Jepang.
Terkait hal tersebut, Juru Bicara Starbucks Reggie Borges mengklaim, pihaknya rata-rata hanya meningkatkan harga jual sebesar 1 sampai 2 persen per tahun sambil menawarkan diskon melalui program loyalitas konsumen.

Bagaimana pun, Starbucks telah merespons cepat perubahan lanskap ritel saat ini. Menurut CEO Kevin Johnson, pihaknya bakal semakin menggaungkan penetrasi penjualan secara daring. 

Meningkatnya penjualan di sejumlah negara Asia, seperti China, juga menjadi harapan baru bagi Starbucks ke depannya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com