Pikiran saya menerawang jauh ke depan, melihat tegalan sawah berubah menjadi jalur-jalur beton hasil pembiayaan dana desa. Terlihat para ibu bercengkerama di bayang-bayang posyandu, seru membahas kelangkaan gas pada gawai masing-masing.
Di ujung desa, anak-anak remaja nongkrong di pelataran toko kelontong modern berbagi wefie ke kelompok bincang-bincangnya.
Di kota-kota, para ibu, remaja, dan penduduk lainnya, berperangai sama, berselancar saling berhubungan dengan teman baik maya maupun riil. Sebuah gambar generik dari kehidupan urban kita.
Itulah terawangan saya atas kehidupan negara kita pada masa depan. Ketika urbanisasi menjadi figur utama dengan perkiraan hampir 70 persen orang akan tinggal di perkotaan pada tahun 2050.
Apa arti urbanisasi dan kehidupan yang "meng-kota-kan" di Indonesia ini? Angkanya mencengangkan.
Menuju 2050, akan ada 60 juta orang Indonesia bertransformasi menjadi penduduk urban, atau hampir 2,5 kali jumlah penduduk negara Australia akan jadi orang kota.
Pada saat bersamaan, tak kurang dari 70 juta orang menjadi kelas menengah baru di negara ekonomi keempat terbesar di dunia ini. Atau sama dengan sebuah negara Perancis baru!
KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUTONG Aktivitas pekerja menyelesaikan pengerjaan proyek pengeboran terowongan untuk angkutan massal cepat (Mass Rapid Transit/MRT) di kawasan Stasiun Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, Kamis (3/11/2016). Pengerjaan proyek MRT fase pertama ini diperkirakan rampung pada tahun 2018.
Transformasi akan ditandai dengan fenomena keniscayaan seperti
kota Jakarta dengan jumlah
commuter ke pusat kota dari 3 juta saat ini, bisa jadi 7 juta. Kita pun memasuki era gerai ATM menjadi usang karena semua pembayaran tinggal sentuhkan kartu.
Jumlah kaum lansia mencapai 100 juta lebih, dengan ekspektasi hidup lebih panjang. Menciptakan generasi baru lansia yang menjadi bagian dari connected community. Penyediaan kebutuhan mereka dan pembiayaannya akan menjadi beban para milenial kita.
Kota-kota Indonesia pun tak akan luput dari fenomena main stream angkutan sepeda. Semakin dominannya sharing community disertai pertumbuhan pesat teknologi disruptif, co-working spaces dan budaya kerja flexi-time.
Isu besar kota-kota Indonesia bukan hanya penyediaan infrastruktur, namun juga perubahan budaya menjadi masyarakat yang meng-kota (urbanizing society).
Arimbi Ramadhiani Coworking space EV Hive @Plaza Kuningan, Jakarta.
Bagi para pemikir, timbul pertanyaan: lalu apa gap (perbedaan) yang jadi tantangan ke depan?
Transformasi budaya menjadi kaum komuter akan mendominasi kehidupan warga kota. Efisiensi dan pengaturan biaya menjadi penting dan ini akan menentukan transformasi dari pengguna kendaraan pribadi ke kendaraan umum.
Pun gaya hidup warga akan berubah. Budaya minum kopi berubah menjadi meyeruput sambil berjalan, tidak lagi santai mengangkat kaki di warung kopi pojok sambil membicarakan mobil baru tetangga.
Ada kecenderungan fisik kota menjadi seragam di sana-sini, karena para wali kota hanya mementingkan aspek bersolek. Taman itu, taman ini, patung ini patung itu.
Pada saat bersamaan, kota pun akan terus menjadi pusat ekspresi demokrasi warga, dan internet akan menghubungkan setiap kejadian penting di kota kita dengan kota-kota di belahan dunia lainnya.
Tengok bagaimana 2017 kita melihat pilkada Jakarta, dapat menciptakan demo di lokasi Sydney, Paris, Atlanta. Kota di Indonesia merupakan bagian dari sistem kota dunia.
KOMPAS.com/GARRY ANDREW LOTULUNG Kereta rel listrik (KRL) meniggalkan Stasiun Jakarta Kota di Jakarta Barat, Kamis (7/9/2017).
Per-hari ini, untuk memenuhi kebutuhan commuter lines, diperlukan investasi transportasi massal. Jakarta akan membangun 100 kilometer transportasi berbasis rel dan pengelolaan 3.000 bus TransJakarta.
Demikian pula Medan, Bandung, Surabaya, Makassar, Semarang, Denpasar. Jika masing-masing mulai membangun minimal 50 kilometer, maka total perlu dibangun 300 kilometer.
Dengan asumsi Rp 2 triliun per kilometer untuk Mass Rapid Transit (MRT) bawah tanah (termasuk sistem dan terminal), Rp 1 triliun Light Rail Transit (LRT) dan Rp 3 miliar per bus, diperlukan biaya sekitar Rp 509 triliun.
Kids zaman now, akan mendapat warisan berupa tugas untuk membayar semua Quick Wins yang coba dicapai saat ini. Alternatif pembiayaan infrastruktur perkotaan menuntut inovasi untuk menyiasati keterbatasan keuangan kota.
Untuk itu para milenial juga harus menjadi partisipan aktif dalam proses demokrasi. Masa depan demokrasi perkotaan, sejalan dengan urbanisasi dan kewajiban membayar investasi pembangunan saat ini. Jangan biarkan politik transaksional merusak rajutan sosial masyarakat masa depan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.