Pendiri Archigram, Peter Cook menggambarkan Zaha sebagai "heroin" dan hasil kerjanya sebagai sesuatu yang istimewa.
"Pekerjaannya meskipun penuh bentuk, gaya, dan perangai tak terbendung, memiliki kualitas yang sebagian dari kita mungkin menyebutnya sebagai mata sempurna. Selama tiga dekade dari sekarang ia telah membuat sesuatu yang berani," tambahnya.
Sementara arsitek Indonesia, Daliana Suryawinata dalam laman Facebook-nya mengenang Zaha sebagai pahlawannya saat dia mengawali studi arsitektur di bangku kuliah.
"Dia menunjukkan kepada dunia, sangat mungkin bermain dengan arsitektur, memperlakukannya sebagai seni dan obyek serta mendorong ke tingkat pencapaian yang lebih tinggi," ujar Daliana.
Dia melanjutkan, Zaha adalah tokoh legendaris langka yang karyanya akan terus hidup dan layak dikenang sepanjang masa.
Memori serupa diungkapkan Budi Pradono. Arsitek yang memimpin firma Budi Pradono Architects ini menyimpan foto bareng bersama mendiang.
Budi menganggap Zaha sebagai diva arsitektur. Semangatnya akan tetap hidup dalam seluruh karyanya.
"Dia berjuang melalui caranya sendiri sebagai perempuan arsitek," imbuh Budi.
Kontroversi
Kendati kerap ditahbiskan sebagai diva, ratu, dan juga maestro, bahkan kemampuan fenomenalnya yang disejajarkan dengan Frank Gehry, Zaha tak lepas dari kontroversi.
Dia pernah berseteru secara terbuka dengan para arsitek Jepang terkait rancangan Stadion Nasional Tokyo yang akan dijaddikan sebagai venue utama Olimpiade 2020 mendatang.
Karya Zaha dianggap terlalu besar, rumit, dan mahal serta tidak mencerminkan budaya Jepang. Atas tuduhan tersebut, terang saja Zaha berang dan balik menuding para arsitek Jepang sebagai sekumpulan orang munafik.
Zaha merasa diperlakukan tidak adil mengingat dirinya merupakan pemenang kompetisi desain stadion tersebut yang diselenggarakan dua tahun silam.
"Sayangnya pemerintah Jepang dan beberapa orang dari profesi yang sama dengan saya dari Jepang telah berkolusi untuk menutup pintu proyek pembangunan stadion dari mata dunia," kata Hadid.