Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Depok, yang Dulu Cuma Dusun Kecil...

Kompas.com - 09/05/2017, 09:03 WIB
M Latief

Penulis

KOMPAS.comDepok itu tak lebih hanya dusun kecil, dan terpencil. Isinya hutan belantara dan semak belukar.

Pada 18 Mei 1696, tanah dusun itulah yang kemudian dibeli oleh Cornelis Chastellen, seorang petinggi Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Tanah itu meliputi Depok dan sedikit wilayah Jakarta Selatan, Ratujaya, dan Bojonggede.

Selain mengelola perkebunan, Cornelis juga menebarkan ajaran agama Kristen kepada para pekerjanya yang datang dari berbagai wilayah Nusantara. Untuk kebutuhan misi itulah dia mendirikan padepokan kristiani yang dinamakan dengan De Eerste Protestante Organisatie van Christenen atau disingkat Depok.

Berdasarkan historisnya, dari situlah sebetulnya asal mula nama Depok. Sampai pada 1871, Pemerintah Belanda akhirnya mengizinkan daerah Depok punya Pemerintahan dan Presiden sendiri setingkat Gemeente atau Desa Otonom.

Dokumentasi PT Trans Lingkar Kita Jaya Kondisi Tol Cinere-Jagorawi Seksi II yang menghubungkan Jalan Raya Bogor dan Kukusan, Beji, Depok.
Persoalan macet

Tahun ini, terhitung sejak Cornelis membeli tanah itu, usia Depok sudah 321 tahun. Depok bukan lagi dusun kecil, berhutan dan penuh semak belukar.

Bahkan, setelah kemerdekaan RI, Depok yang bermula cuma sebuah kecamatan di lingkungan kewedanan Parung, Bogor, terus berkembang. Selain wilayahnya luas, penduduknya juga semakin padat.

Depok lambat laun terus berkembang, terutama setelah Perumnas masuk dan membangun perumahan pada 1975. Nama kota ini juga makin bersinar setelah Universitas Indonesia (UI) dibangun di wilayah itu. Sampai akhirnya, pada 1981, Depok dibentuk menjadi Kota Administratif yang wilayahnya mencakup tiga kecamatan dan 17 desa.

Sekarang? Depok malah sudah sejajar dengan para “tetangganya” yang masuk dalam lingkar Jabodetabek. Kota ini sudah menjadi buffer city atau penyangga bagi kota-kota yang masuk dalam lingkar itu, terutama DKI Jakarta.

Buntutnya, sebagai akibat pemekaran wilayah berdasarkan Peraturan Daerah nomor 08/2007, wilayah Kota Depok kini meliputi 11 kecamatan, antara lain Beji, Pancoran Mas, Cipayung, Sukmajaya, Cilodong, Limo, Cinere, Cimanggis, Sawangan, serta Bojongsari.

Sebagai poros lalu lintas Jakarta-Depok-Bogor, Kota Depok juga semakin maju menjadi wilayah transit dan sub-urban Jakarta dan Bogor. Selain dilewati rute alat transportasi publik paling cepat dan bebas macet, yaitu kereta api, perkembangan jalan tol terbaru membuat infrastruktur kota ini makin mantap.

"Tahun 80-an itu saya tinggal di Depok. Ada kereta dan bis. Tapi, hari ini, struktur jalan di Depok tak beda jauh dengan tahun 80-an itu. Margonda, ya sepertii itu-itu saja, dan macet," ujar Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), Herry Trisaputra Zuna, membuka diskusi 'Infrastruktur Depok Topang Kenyamanan Kota' yang digelar Masyarakat Pemerhati Properti (MPP), Rabu (26/5/2017) lalu.

"Mungkin, Depok harus membuat struktur jaringan jalannya sendiri. Kalau tidak, lalu lintasnya hanya akan lewat Margonda, dan bolak-balik di situ saja," tambahnya.

Memang, lanjut Herry, perkembangan Depok sejak dulu dan kini tak luput dari persoalan kemacetan. Tetapi, meski belum 100 persen persoalan itu tertuntaskan, kemajuan Depok dalam menyiapkan akses jalan justeru semakin baik.

Herry menuturkan, Jalan Tol Cijago Seksi II (Jalan Raya Bogor - Kukusan) misalnya, ditargetkan bakal selesai akhir tahun ini. Kemajuan konstruksi jalan tol meliputi Margonda-Cisalak dan Margonda Kukusan itu masing-masing sudah mencapai 68 dan 50 persen.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com