Tak mengherankan jika Senior Associate Director Office Service Colliers International Indonesia Sutrisno R Soetarmo menyatakan kondisi tahun ini terburuk sejak Presiden Soeharto lengser.
"Ini lebih buruk sejak tahun 1999, setahun setelah Soeharto turun tahta," imbuh Sutrisno.
Harga terkoreksi
Kondisi kelebihan pasokan (over supply) tersebut tentu saja memengaruhi harga sewa penawaran atau asking price, dan tingkat okupansi.
Sutrisno mengungkapkan, harga sewa penawaran rata-rata terkoreksi 30 persen.
"Betul-betul terburuk sepanjang sejarah. Ini terjadi di CBD dan non-CBD Jakarta untuk seluruh ruang perkantoran lama, dan baru," ucap Sutrisno.
Jika asking price saja mengalami kemerosotan sebesar itu, bagaimana dengan harga sewa transaksi?
Sutrisno membeberkan angka-angka di luar perkiraan. Menurut dia, harga sewa yang ditransaksikan hanya 50 persen dari harga penawaran.
Dia mencontohkan, ruang perkantoran baru di bilangan Rasuna Said, Gatot Subroto, dan Sudirman.
Harga sewa penawaran Rp 250.000 meter per segi per bulan, bisa jatuh menjadi hanya Rp 125.000 per meter persegi per bulan.
Fenomena ini menjadikan tingkat okupansi perkantoran di CBD dan non-CBD Jakarta menjadi di bawah 85 persen.
Perang tarif
Sutrisno juga membeberkan fakta, kondisi lebih parah terjadi pada ruang perkantoran strata title yang dimiliki investor.
"Sudah terjadi perang tarif pada perkantoran strata title yang disewakan kembali. Harga sewanya juga anjlok 30 persen," kata dia.
Alasan para investor melakukan banting harga adalah pertama agar tidak kehilangan aset. Kedua, para investor lebih memilih untuk mendapatkan income atau pendapatan ketimbang harus membayar service charge.
"Biaya sewa dari tenant digulirkan kembali oleh investor untuk membayar service charge kepada pengembang," tambah dia.
Jadi, kata Sutrisno, meskipun 2016 merupakan titik nadir (bottom) sektor properti, namun 2017 adalah saat paling berat untuk bangkit kembali.