Sejak saat itu Charter ini mempengaruhi pembangunan kota-kota di dunia, yang dipicu oleh kekuatan modal dalam membangun gated communities dengan sabuk-sabuk hijau kota sebagai penahannya.
Pada tahun 2016, tonggak baru mahzab perkotaan kembali coba dibangun melalui New Urban Agenda (NUA) di Quito.
Namun satu hari sebelum disepakatinya NUA yang telah dikerjakan beberapa tahun, empat urbanis dunia yaitu suami istri Saskia Sassen dan Richard Sennett bersama Ricky Burdett dan Juan Clos, mengajukan kritikan atas perkembangan perencanaan dunia dalam 100 tahun terakhir, dengan mengeluarkan “Quito Papers”.
“Quito Papers” mengkritisi kekakuan rezim perencanaan pasca Charter of Athens. Dokumen ini memberikan basis untuk manifesto masa depan kota dunia. Tujuannya adalah untuk mengeksplorasi pentingnya kualitas ruang publik dan kehidupan perkotaan dalam merencana kota.
Para jawara ini menekankan bahwa kota itu sangat cair, kompleks, sekaligus sebagai tempat yang selalu mengalir dalam kegiatan warganya. Mereka juga menekankan bahaya perencanaan berlebihan, dan perlunya smart planning.
Seperti dikatakan Saskia, kota dan ruang adalah artefak politik, hasil proses dan dinamika teknokratik dalam sistem politik. Kota menjadi lambang hubungan antara ide dan berbagai kepentingan sosial.
Mereka membawa pendulum mahzab perencanaan semakin ke kiri, di mana dunia ini semakin ke kanan dan kapitalistik dengan proses akusisi ruang global yang semakin massif.
Trend dunia perencanaan kota menunjukan keberpihakan atas keadilan sosial dan kesetaraan. Kepastian untuk menjamin semua warga mendapatkan kesempatan yang sama, menciptakan dorongan kota-kota yang paling nyaman di dunia berdasarkan index Most Livable Cities oleh the Economist Intelligence Unit.
Indeks ini menempatkan kota-kota dengan desain yang memiliki keterlibatan masyarakat yang tinggi, dan desain rencana yang sangat sosialistik.
Kota-kota kita masih bertumbuh secara alamiah. Intervensi produk rencana masih terbatas pada aturan dan penggunaan pedoman rencana yang sangat sentralistik. Hasilnya, ada benang merah yang bisa ditarik, seperti mewabahnya “Un-structured over-planning”.
Cara berpikir seperti ini, menganggap semua ruang itu, bisa didesain fisiknya. Padahal, ada ruang, yang justru harus dibiarkan keasliannya. Nampaknya mahzab perencanaan yang sosialis, berpadu dengan politik populis, tak mampu menahan nafsu kapitalistik dan konsumerisme untuk merambah ruang.
Urban Regeneration sebagai manifestasi strategi pemanfaatan ruang kota-kota masih teramat langka. Butuh pembenahan sistem penataan ruang agar prosesnya tidak hanya demi kepentingan bisnis.
Perlu terobosan dan inovasi untuk mendukung Nawa Cita pembangunan, dan dalam jangka panjang membentuk sistem perencanaan yang lebih humanis.
Dimensi kemanusiaan selama ini ditinggalkan karena lebih fokus pada konektifitas infrastruktur. Dehumanisasi perencanaan ini apabila dibiarkan akan menghasilkan ruang-ruang yang tidak layak huni karena menerobos daya dukung lingkungan (carrying capacity), delineasi ekoregion, dan optimasi ruang.