Apa yang terjadi di Indonesia sejak zaman Le Corbusier hingha New Urban Agenda?
Ternyata, Indonesia mengalami paceklik produk perencanaan. Paceklik produk perencanaan ini sudah mentradisi sejak 30 tahun terakhir.
Perkembangan politik perencanaan di tanah air berujung pada mandeknya karya perencanaan ruang yang bisa dianggap sebagai terobosan dalam pemanfaatan ruang, maupun perubahan peruntukan ruang di Indonesia.
Satu dekade diberlakukannya UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menyisakan banyak pertanyaan. Terutama tentang kualitas produk rencana tata ruang, keterbatasan biaya perencanaan, dan miskinnya kognisi dalam dinamika 3 aspek proses merencana, yaitu teknoratis, partisipatif, dan legislatif.
Pertumbuhan ekonomi, investasi dan percepatan pembangunan infrastruktur dasar terhambat karena konflik ruang. Proyek-proyek strategis bertabrakan dengan produk rencana di level nasional dan lokal.
Karena itu, timbul fenomena peninjauan kembali dan revisi-revisi yang sulit dilakukan karena pembatasan minimal waktu 5 tahun untuk bisa direvisi.
Belum lagi konflik mendasar antar-sektor seperti Pekerjaan Umum, Kelautan, Lingkungan hidup dan Kehutanan, maupun Agraria dan Tata Ruang seolah tidak berkesudahan.
Keputusan pemerintah menghapuskan institusi resolusi konflik Badan Koordinasi Penataan Ruang (BKPRTN), menyebabkan tantangan lebih berat lagi. Indonesia masih tersandera oleh berbagai tumpang tindihnya pengaturan lahan dan “land-grabbing” skala global.
Kemudian di sektor Kehutanan ada UU Nomor 41 Tahun 1999, UU Nomor 19 Tahun 2004, di sektor Agraria dan Tata Ruang ada UUPA Nomor 5 Tahun 1960 dan UU Nomor 26 Tahun 2007, serta di Kementerian Dalam Negeri ada UU Nomor 6 Tahun 2015 dan pengaturan Otonomi Daerah UU Nomor 23 Tahun 2014 dan UU Nomor 2 Tahun 2015.
Konflik seperti kontroversi reklamasi Teluk Jakarta dan 30 proyek serupa di berbagai propinsi, penggusuran masyarakat di berbagai kawasan, menjadi penanda bahwa kita punya masalah serius.
Termasuk masalah konflik antara-masyarakat dengan pemerintah kota karena pengaturan Rencana Tata Ruang yang tidak melakukan proses bottom up planning yang komprehensif.
Perkotaan dan tantangan utama
Pada tahun 1933, Le Corbusier dan kelompok modernist Congrès Internationaux d'Architecture Moderne (CIAM) meneliti persoalan kota sebelum Perang Dunia II.
Hasilnya, dokumen Charter of Athens yang merekomendasikan restrukturisasi radikal kota-kota dengan dasar prinsip-prinsip rasionalis.
Pada tahun 2016, tonggak baru mahzab perkotaan kembali coba dibangun melalui New Urban Agenda (NUA) di Quito.
Namun satu hari sebelum disepakatinya NUA yang telah dikerjakan beberapa tahun, empat urbanis dunia yaitu suami istri Saskia Sassen dan Richard Sennett bersama Ricky Burdett dan Juan Clos, mengajukan kritikan atas perkembangan perencanaan dunia dalam 100 tahun terakhir, dengan mengeluarkan “Quito Papers”.
“Quito Papers” mengkritisi kekakuan rezim perencanaan pasca Charter of Athens. Dokumen ini memberikan basis untuk manifesto masa depan kota dunia. Tujuannya adalah untuk mengeksplorasi pentingnya kualitas ruang publik dan kehidupan perkotaan dalam merencana kota.
Para jawara ini menekankan bahwa kota itu sangat cair, kompleks, sekaligus sebagai tempat yang selalu mengalir dalam kegiatan warganya. Mereka juga menekankan bahaya perencanaan berlebihan, dan perlunya smart planning.
Seperti dikatakan Saskia, kota dan ruang adalah artefak politik, hasil proses dan dinamika teknokratik dalam sistem politik. Kota menjadi lambang hubungan antara ide dan berbagai kepentingan sosial.
Mereka membawa pendulum mahzab perencanaan semakin ke kiri, di mana dunia ini semakin ke kanan dan kapitalistik dengan proses akusisi ruang global yang semakin massif.
Trend dunia perencanaan kota menunjukan keberpihakan atas keadilan sosial dan kesetaraan. Kepastian untuk menjamin semua warga mendapatkan kesempatan yang sama, menciptakan dorongan kota-kota yang paling nyaman di dunia berdasarkan index Most Livable Cities oleh the Economist Intelligence Unit.
Indeks ini menempatkan kota-kota dengan desain yang memiliki keterlibatan masyarakat yang tinggi, dan desain rencana yang sangat sosialistik.
Kota-kota kita masih bertumbuh secara alamiah. Intervensi produk rencana masih terbatas pada aturan dan penggunaan pedoman rencana yang sangat sentralistik. Hasilnya, ada benang merah yang bisa ditarik, seperti mewabahnya “Un-structured over-planning”.
Cara berpikir seperti ini, menganggap semua ruang itu, bisa didesain fisiknya. Padahal, ada ruang, yang justru harus dibiarkan keasliannya. Nampaknya mahzab perencanaan yang sosialis, berpadu dengan politik populis, tak mampu menahan nafsu kapitalistik dan konsumerisme untuk merambah ruang.
Urban Regeneration sebagai manifestasi strategi pemanfaatan ruang kota-kota masih teramat langka. Butuh pembenahan sistem penataan ruang agar prosesnya tidak hanya demi kepentingan bisnis.
Perlu terobosan dan inovasi untuk mendukung Nawa Cita pembangunan, dan dalam jangka panjang membentuk sistem perencanaan yang lebih humanis.
Dimensi kemanusiaan selama ini ditinggalkan karena lebih fokus pada konektifitas infrastruktur. Dehumanisasi perencanaan ini apabila dibiarkan akan menghasilkan ruang-ruang yang tidak layak huni karena menerobos daya dukung lingkungan (carrying capacity), delineasi ekoregion, dan optimasi ruang.
Pengendalian pemanfaatan lahan harus seimbang. Masalah aksesibilitas dan mobilitas akan menjadi isu penting kota-kota Indonesia. Mobilitas masyarakat perlu didukung oleh angkutan masal yang mumpuni.
Langkah nyata
Urbanisasi, reformasi birokrasi dan pemilihan kepala daerah (pilkada) bisa menjadi harapan kita. Apa yang perlu diperhatikan dalam merencana ke depan? Pentingnya perbaikan transparansi, tata kelola dan partisipasi, akan menjadi kunci untuk mendekatkan jarak antara kepentingan rakyat, ekonomi dan politis.
Pemerintah segera mereformasi instrumentasi kebijakan, lakukan padu serasi semua peraturan yang bersifat normatif dan teknis terkait dengan penyelenggaraan tata ruang. Contohnya melalui Komisi Perencanaan di daerah untuk mengawal transformasi kelembagaan penataan ruang dan pertanahan.
Hal itu bisa menjamin inklusifitas dan akuntabilitas perizinan yang selama ini prosesnya disangsikan oleh masyarakat.
Perjelas komitmen pemerintah Indonesia di dalam menyelenggarakan manajemen perkotaan dan pedesaan kita. Sampai saat ini, belum terlihat langkah-langkah nyata dari pemerintah terkait dengan agenda perkotaan, tata ruang maupun desa yang dikaitkan dengan visi 20-30 tahun ke depan.
Kita juga masih belum melihat bagaimana pemerintah secara eksplisit memasukkan agenda carrying capacity, pengentasan kemiskinan, pengurangan kawasan kumuh, penyediaan air bersih kepada masyarakat, maupun penyediaan perumahan rakyat.
Para wali kota dan bupati yang memenangi kontestasi pilkada harus fokus pada pemenuhan tuntutan publik dan warga kota. Warga perlu kenyamanan dan kesejahteraan, dan ingin dilibatkan.
Kemudian identifikasi tujuan, peran dan arah pelayanan publik yang dijabarkan di dalam rencana.
Karena itu, inovasi di level kebijakan dan program daerah menjadi bagian penting dari proses perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang, agar kota dan kabupaten menjamin inklusif, berkeadilan dan dinamis.
Selamat Tahun Baru 2017!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.