Pasca-kongres Nasional Ikatan Ahli Perencanaan (IAP), sebuah asosiasi profesi perencana wilayah dan kota terbesar di antara profesi serupa di negera-negara ASEAN pekan lalu, Indonesia masih menghadapi begitu banyak konflik mendasar antar-sektor yang seolah tidak berkesudahan.
Para perencana kota dan wilayah di Indonesia perlu memperhatikan bahwa pertumbuhan ekonomi, investasi dan percepatan pembangunan infrastruktur dasar bisa terhambat karena berbagai masalah konflik ruang.
Kontroversi reklamasi Teluk Jakarta dan 30 proyek serupa di berbagai propinsi, peninjauan kembali rencana-rencana kota termasuk Jakarta dan penggusuran masyarakat di berbagai kawasan, menjadi penanda bahwa kita punya masalah serius.
Termasuk masalah konflik antara-masyarakat dengan pemerintah kota karena pengaturan Rencana Tata Ruang yang tidak dilakukan melalui proses bottom up planning yang komprehensif.
Belum lagi ditambah dengan rencana pembangunan kota Garuda di atas tanggul raksasa, mengatasnamakan National Capital Integrated Coastal Defence (NCICD) yang masih perlu diperdebatkan pijakan teknisnya.
Begitu banyak konflik mendasar antar-sektor seperti Pekerjaan Umum, Kelautan, Lingkungan Hidup dan Kehutanan, maupun Agraria dan Tata Ruang. Percepatan pembangunan infrastruktur dasar seperti pelabuhan, jalan, instalasi air bersih, kawasan ekonomi khusus dan instalasi tenaga listrik terhambat karena berbagai hambatan konflik sektoral.
Kerancuan hampir selalu terjadi pada kegiatan sektor di pesisir dan matra laut seperti pengembangan daerah pesisir dan daerah rentan bencana.
Dengan keputusan pemerintah Indonesia menghapuskan institusi resolusi konflik Badan Koordinasi Penataan Ruang (BKPRTN), menyebabkan tantangan berat siap menghadang usaha pemanfaatan sumberdaya melalui pengembangan pola tata ruang.
Saya menengarai ada stagnasi luar biasa di sisi pemerintah dalam tugasnya membina pelaksanaan penataan ruang daerah dan pengembangan prosedur pengelolaan tata ruang. Indonesia masih tersandera oleh berbagai tumpang tindihnya pengaturan lahan baik dalam hal pendaftaran (land register) mapun peruntukan (land use).
Apalagi di daerah, saat urusan pertanahan dan tata ruang sudah diserahkan kepada otoritas pemerintah daerah (pemda). Seringkali ditemui adanya ketidaksesuaian antara status, kepemilikan, dan tata guna tanah. Hal yang sama terjadi bila kita menilik ruang laut, bawah laut udara dan ruang budaya bagi kelestarian aset masyarakat adat.
Politik perencanaan di tanah air berujung pada lambannya keputusan pemerintah terhadap pemanfaatan ruang, maupun pada perubahan atas peruntukan ruang tersebut. Penerjemahan ruang yang cenderung hanya terfokus pada daratan saja, menyebabkan adanya kekosongan aturan, norma hingga petunjuk pelaksanaan terhadap dimensi ruang tanah, bawah tanah, laut, bawah laut, udara, sampai ruang budaya.
Harapan Indonesia untuk lepas dari jeratan kemandegan pembangunan infrastruktur tersendat karena proyek prioritas infrastruktur yang menyebar di berbagai wilayah terkendala aspek aturan tata ruang.
Langkah ke depan
Ada beberapa langkah yang bisa diambil pemerintah untuk segera keluar dari kemelut konflik ruang. Salah satunya dengan memperjelas fungsi dan manfaat Rencana Tata Ruang. Para perencana perlu dibina agar mampu menciptakan instrument perencanaan fisik (physical planning), rekayasa sosial (social engineering), pengembangan ekonomi (economic development), keberlanjutan pembangunan (sustainable development), sinergisitas antar wilayah (mutualism), harmoni antar sektor (cross-sector), dan dokumen publik (public consencus).