Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bangunan di Indonesia Kalah Efisien Dibandingkan Singapura!

Kompas.com - 30/09/2016, 16:47 WIB
Adhis Anggiany Putri S

Penulis


KOMPAS.com – Dibanding Singapura, bangunan di Indonesia cenderung masih ketinggalan dalam hal penghematan dan efisiensi energi. Pasalnya, mayoritas bangunan komersial dan perkantoran di Indonesia belum mengantongi sertifikat sebagai green building atau gedung hijau.

Tercatat, Indonesia baru memiliki 34 gedung hemat energi. Padahal, jumlah bangunan tinggi yang laik fungsi di Jakarta saja mencapai 450 unit. (Baca: Ternyata, Gedung di Jakarta Lebih Boros Listrik daripada Jepang)

Sementara itu, Singapura masuk dalam 10 besar kota-kota dunia yang punya tatanan gedung paling hijau tahun 2016 menurut lembaga manajemen konsultasi Solidiance. Negeri Kepala Singa ini menduduki posisi ke-2 setelah Paris, Perancis.

Ada empat kriteria yang dinilai oleh lembaga tersebut, yaitu lanskap kota, performa dan efisiensi gedung hijau, target dan kebijakan gedung hijau, juga kultur dan lingkungan kota.

Menurut laporan Solidiance, sekitar 48 persen gedung di Singapura sudah bersertifikat "hijau". Selain itu, nilai untuk kateori kultur dan lingkungan mencapai 19,49 persen. Pada 2030 nanti, Singapura bahkan menargetkan bahwa 80 persen bangunan sudah bersertifikat "hijau".

Pada diskusi panel dalam acara "Life is on Innovation Summit 2016", Building and Construction Authority di Singapura, Jeffery Neng, sempat menjelaskan alasan di balik kesuksesan Negeri Singa membangun banyak gedung "hijau".

Neng mengatakan bahwa Singapura sedari awal sudah mempunyai master plan sangat kuat terkait gedung yang telah ada dan akan datang. Sejak awal, lanjutnya, konstruksi bangunan telah siap sehingga gedung-gedung di Singapura relatif sudah efisien dalam penggunaan energi.

"Pemilik gedung tinggal berbenah saja. Di sisi lain, efisiensi energi juga harus dilakukan oleh para pengguna gedung, bukan pengelola gedungnya saja. Kami ingin memposisikan Singapura menjadi pusat penghubung gedung berwawasan lingkungan," ujar Neng dalam diskusi di Ritz Carlton Hotel, Singapura, Senin (26/9/2016).

Menurut dia, membangun kultur masyarakat yang peduli terhadap lingkungan tidak bisa lewat regulasi pemerintah saja. Perubahan harus terjadi dari bawah ke atas (bottom up).

"Mengedukasi orang-orang itu yang membutuhkan waktu lama. Kami membangun hubungan dengan masyarakat. Kami (pemerintah) mendorong batas-batas tentang apa yang bisa dilakukan industri," tutur Neng.

Pemerintah Singapura, lanjutnya, terus mendorong industri dan masyarakat untuk melakukan efisiensi energi lebih baik. Selain itu, Singapura juga mengembangkan energi terbarukan yang bisa menurunkan biaya.

"Kombinasi keduanya (pengelolaan energi dan penggunaan energi terbarukan) akan melahirkan zero net energy," katanya.

Dok. Schneider Electric "Life is On Innovation Summit 2016" diadakan di Singapura, Senin, 26 September 2016, untuk membahas tentang teknologi Internet of Things (IoT) yang dapat meningkatkan efisiensi energi di sektor industri dan rumah tangga.

Mengejar ketertinggalan

Sebenarnya, Indonesia juga mampu membangun lebih banyak gedung berwawasan lingkungan. Yang harus dilakukan pertama kali adalah mengubah pola pikir atau kultur masyarakat untuk mengelola energi secara efisien.

Namun, hal tersebut tidaklah mudah. Mendirikan bangunan "hijau" dalam skala kota bahkan negara butuh kerja sama banyak pihak.

Pernyataan ini diutarakan oleh Senior Vice President Strategy and Innovation EcoBuilding Schneider Electric, Christophe Melinette dalam wawancara khusus di sela-sela rangkaian acara "Life is on Innovation Summit 2016".

"Ya, saya pikir ada tiga pihak yang harus dilibatkan, yaitu penyedia teknologi, masyarakat, dan pemerintah," kata Melinette kepada Kompas.com, Senin (26/9/2016).

Penyedia teknologi, ucap dia, berperan menyajikan solusi yang sesuai dengan kebutuhan. Bangunan di Indonesia bisa jadi membutuhkan strategi pengelolaan energi yang berbeda dengan Singapura atau negara lain.

Selain itu, Individu, pemilik rumah, pemilik gedung, pengelola hotel, dan pemimpin bisnis pun perlu sadar juga siap mengimplementasikan program efisiensi energi. Menurut Melinette, mereka akan sadar dengan sendirinya jika program efisiensi ini bisa berpengaruh langsung terhadap "dompet" mereka.

"Efisiensi energi dalam satu gedung bisa memotong biaya hingga 30 persen sehingga return of investment bagi pengusaha menjadi masuk akal. Pengelola gedung pun akan mau mengeluarkan uang sedikit lebih banyak untuk penghematan sebanyak ini," ujar Melinette.

WWW.BLOOMBERG.COM Kebanyakan gedung hijau sudah memanfaatkan energi sinar matahari untuk memenuhi kebutuhan daya sehari-hari.

Selain itu, lanjutnya, pemerintah pun perlu terlibat langsung dengan merancang beragam kebijakan agar program efisiensi energi ini menjadi kultur di masyarakat.

"Kultur dan pola pikir (hemat energi) tidak jatuh begitu saja dari langit. Kultur berasal dari kemauan. Kultur ini dibangun melalui hubungan antara pemerintah dan masyarakat," lanjut Melinette.

Dia mengatakan bahwa kebijakan pemerintah Indonesia saat ini untuk mensubsidi energi sebenarnya kurang memiliki nilai edukasi bagi masyarakat.

"Memang pemerintah melakukan itu untuk kesejahteraan rakyat dan hal ini bagus. Kita semua ingin masyarakat mendapat energi murah. Tapi dampaknya terhadap aspek kultural, masyarakat cenderung kurang peduli terhadap efisiensi energi," kata Melinette.

Dia mencontohkan salah satu kebijakan yang berhasil mendorong kultur hemat energi oleh pemerintah Perancis. Gedung, apartemen, dan vila di sana memiliki peringkat dari A, B, C, D, sampai E. Peringkat ini menunjukkan tingkat efisiensi energi pada bagunan.

Harga jual bangunan, lanjut Melinette, bisa tinggi atau rendah tergantung peringkat yang disandang. Apartemen peringkat A, misalnya, lebih tinggi harga jualnya dibanding peringkat B.

"Kebijakan ini terbukti efektif mendorong banyak penghematan dan efisiensi energi dari masyarakat di semua lapisan di Perancis," ucap Melinette.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com