Namun, urbanisasi yang cepat memberikan tekanan yang signifikan pada infrastruktur, sehingga memengaruhi transportasi umum dan pengguna mobil pribadi.
Untuk mengatasi masalah tersebut, kota-kota dan inovator, sedang membangun sistem transportasi publik yang efektif dan menghadap ke depan.
Misalnya, Shanghai, China yang telah membangun 21 jalur kereta bawah tanah, London membuka 'superhighways' Timur-Barat dan Utara-Selatan, dan Elon Musk yang memelopori pencanangan perdana Hyperloop.
Upaya yang sama di Indonesia, sejumlah proyek infrastruktur juga tengah dibangun untuk mengurangi kepadatan jalan karena penggunaan mobil.
Contohnya, mass rapid transit (MRT) di Jakarta, dan light rail transit di Jakarta dan Palembang.
Proyek-proyek ini dibangun dengan tujuan para komuter tidak memenuhi jalan dan mengakibatkan kemacetan panjang.
Sementara itu, masih dalam laporan JLL, Paris, di peringkat kedua, memiliki sistem transportasi secara konsisten.
Adapun Shanghai, di posisi ketiga, sudah memiliki sistem kereta bawah tanah yang luas, dengan ekspansi lebih lanjut yang direncanakan pada tahun 2030.
Tujuh dari 10 kota di daftar tersebut berada Eropa Barat. Laporan JLL menyoroti kekuatan sistem angkutan umum tidak hanya kota-kota besar Eropa, tetapi juga kota menengah.
"Ukuran dan kepadatan kota-kota ini membuat sistem dapat dikelola, terjangkau dan nyaman," tulis laporan tersebut.
Kota tanpa mobil
Masalah lingkungan, termasuk polusi dan asap jangka pendek, serta kontribusi jangka panjang emisi kendaraan terhadap perubahan iklim, menjadi faktor pendorong perubahan.
Ibu kota Norwegia, Oslo, misalnya, sudah mengumumkan rencana untuk melarang semua kendaraan di pusat dalam waktu beberapa tahun ke depan.
Sementara itu, Paris telah menyelenggarakan hari bebas kendaraan, dengan inisiatif lebih lanjut yang diumumkan tahun ini.
Dalam hal ini, sejumlah rute didesain untuk bebas kendaraan pada hari Minggu dan hari libur, sementara rute lainnya akan melarang mobil sepenuhnya.