Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pakar: Soal Tanggul Laut Raksasa, Jangan Percaya Tawaran Belanda

Kompas.com - 15/05/2016, 10:05 WIB
Arimbi Ramadhiani

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Proyek reklamasi di Indonesia, khususnya di Teluk Jakarta, memiliki perbedaan persepsi dari reklamasi dalam arti sesungguhnya.

Reklamasi Teluk Jakarta dinilai lebih merusak alam daripada tujuan reklamasi sebenarnya, yaitu untuk mengembalikan lahan yang sebelumnya sudah ada.

Dalam diskusi mengenai National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) terungkap bahwa reklamasi Teluk Jakarta mengubah bentang alam.

Koordinator Bidang Kajian Strategis Fakultas Perikanan dan Institut Pertanian Bogor (IPB), Alan F Koropitan, menekankan, reklamasi Teluk Jakarta sejatinya bukan reklamasi, melainkan mengubah bentang alam.

"Yang tidak ada pulau menjadi ada pulau. Contohnya, di Dubai, Uni Emirat Arab, itu yang tadinya tidak ada pulau menjadi ada," ujar Alan di Goethe Institute, Jakarta, Jumat (13/5/2016).

Alan menuturkan, tujuan reklamasi di negara lainnya juga berbeda dibandingkan di Indonesia dan Dubai. Di Florida, Amerika Serikat, contohnya. Reklamasi dilakukan pada pantai yang sudah mengalami abrasi.

Dalam hal ini, pemerintah Florida ingin mengembalikan lahan yang sebelumnya ada. Lahan tersebut telah tergerus oleh gelombang dan berangsur-angsur hilang.

Pasirnya, lanjut Alan, berasal dari lepas pantai. Pasalnya, jika pasir diambil dari dekat pantai atau pulau, maka hal tersebut justru akan membuat masalah baru.

Masalah ini antara lain diakibatkan dari empasan energi gelombang yang menggerus pantai di sekitarnya.

Sementara itu, di Belanda, reklamasi dibangun berdasarkan hal lain. Belanda telah mengalami penurunan muka tanah.

Sejak era 1500-1600, Belanda mulai beradaptasi dengan penurunan muka tanah yang hampir merata di seluruh pesisir.

"Apa yang mereka bangun? Dyke (bendungan), tetapi jebol. Kemudian dibangun lagi, dan ternyata jebol lagi. Nah, sejak tahun 1900-an, Belanda bangun dyke yang menyeluruh," sebut Alan.

Hal ini, lanjut dia, menunjukkan bahwa Belanda telah mengalami proses teknologi adaptasi yang cukup panjang.

Mengacu pada kasus-kasus di atas, Alan menyarankan agar Pemerintah Indonesia tidak langsung percaya begitu saja dengan tawaran Belanda yang ingin membantu membangun tanggul laut raksasa di Teluk Jakarta.

Pasalnya, kondisi geografis Jakarta berbeda dengan Belanda. Sistem yang akan diterapkan juga tidak sama.

Sebelumnya diberitakan, Pemerintah Belanda ingin melanjutkan dan menawarkan proyek NCICD yang sebelumnya sudah sempat berjalan.

Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Rob Swartbol, mengatakan, negerinya ingin membagi pengetahuan dan pengalaman kepada Pemerintah Indonesia soal ini.

Menurut dia, proyek ini penting karena membantu menghentikan banjir sehingga orang-orang bisa selamat. Sejauh ini, Belanda telah berinvestasi sekitar 5 juta dollar AS untuk fase pertama.

"Nantinya, kami memulai fase selanjutnya. Pemerintah akan mengestimasi berapa kebutuhannya. Setelah itu, kami jadi tahu berapa yang perlu kami sediakan," sebut Rob seusai diterima Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono, di Kementerian PUPR, Jakarta, Selasa (16/6/2015).

Setiap fase bisa berbeda jumlah investasinya. Menurut Rob, bantuannya bukan hanya tentang uang. Banyak perusahaan Belanda yang ingin bekerja sama dan membantu Pemerintah Indonesia dan memastikan, proyek infrastruktur berjalan dengan baik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com