JAKARTA, KOMPAS.com - Selain Agung Podomoro Group, nama besar lain di sektor properti yang masuk dalam daftar "Offshore Leaks" adalah Eddy Hussy.
Eddy merupakan Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI) atau asosiasi pengembang properti yang berkedudukan di Indonesia.
Pria berkulit terang ini tercatat dalam daftar "Offshore Leaks" sebagai direktur Rossborne Holdings Ltd sejak tahun 23 Juni 2009.
Selain menjabat sebagai direktur, Eddy juga merupakan pemegang saham Rossborne Holdings Ltd bersama Jimmy Samantha, Pang Teck Huat.
Eddy mencatatkan dirinya saat membentuk perusahaan itu berdasarkan domisili di RT 04/06 Perumahan Anggrek Mase 33, Kota Batam, Kepulauan Riau.
Menurut International Consortium of Investigative Journalist (ICIJ), Rossborne Holdings Ltd hingga kini berstatus masih aktif.
Saat dikonfirmasi berkali-kali oleh Kompas.com pada Rabu (6/4/2016), dan Kamis (7/4/2016) Eddy tak memberikan tanggapan hanya membaca pesan dan pertanyaan yang diajukan melalui whatsapp, dan tidak mengangkat komunikasi melalui telepon.
Berbeda dengan "Panama Papers" yang berangkat dari bocornya data firma hukum Mossack Fonseca, "Offshore Leaks" berasal dari data yang didapat dari firma hukum Portcullis TrustNet di Singapura dan Commonwealth Trust Ltd di British Virgin Island (BVI).
Firma hukum tersebut berkantor pusat di Singapura. Awalnya, pengacara asal Singapura David Chong membeli TrustNet dan bergabung dengan Offshore Portcullis.
Portcullis TrustNet mempunyai klien sejumlah 77.000 individu dan institusi. Sebanyak 45.000 klien di antaranya berasal dari China, Taiwan, dan beberapa negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Beda "Panama Papers" dan "Offshore Leaks"
Mereka yang masuk dalam daftar "Panama Papers" adalah para pengusaha yang ditengarai melarikan hartanya ke negara-negara tax haven dengan bantuan Mossack Fonseca.
Hal itu dilakukan dengan berbagai motif. Salah satunya adalah untuk menghindari pajak serta pencucian uang.
Meskipun "Panama Papers" belum dipublikasikan secara luas, "Offshore Leaks" lebih dulu mengguncang publik.
"Offshore Leaks" juga lebih luas cakupannya. Bukan hanya pengusaha, melainkan juga pejabat, akademisi, jurnalis, hingga aktivis yang terkenal dengan penolakannya terhadap neoliberalisme.
Jurnalis Tempo yang terlibat dalam penelusuran data "Panama Papers", Wahyu Dhyatmika, menuturkan, "Offshore Leaks" adalah data nasabah yang membuka rekening luar negeri.
Data tersebut sudah dibocorkan sejak tahun 2013 dan belum tentu melakukan tindakan ilegal.
Sementara itu, "Panama Papers" adalah data bocoran baru yang merupakan para klien Mossack Fonseca. Para klien itu menyewa jasa perusahaan konsultan hukum ini dengan sejumlah motif.
"Nama-nama yang ada pada "Offshore Leaks" tidak semuanya masuk dalam daftar "Panama Papers". Namun, ada beberapa nama yang ada di "Offshore Leaks" juga disebut di "Panama Papers," ujarnya Kamis (7/4/2016).
Artinya, tidak semua nama yang ada pada "Offshore Leaks" terlibat skandal tax avoidance atau penghindaran pajak dan tindak pidana pencucian uang yang dibantu oleh Mossack Fonseca.
Sementara itu, nama-nama yang ada pada "Panama Papers" hampir dipastikan mereka yang mendirikan perusahaan cangkang atau perusahaan offshore untuk tujuan khusus.
Perusahaan cangkang merupakan sebuah struktur korporasi yang bisa digunakan untuk menyembunyikan kepemilikan aset perusahaan.
Mengutip laporan ICIJ, total ada 214.488 nama perusahaan cangkang dalam dokumen "Panama Papers". Perusahaan-perusahaan itu terhubung dengan orang-orang maupun pengusaha dari 200 negara.
Sejauh ini, nama asal Indonesia yang ada dalam "Offshore Leaks" mencapai 2.961. Adapun yang ada dalam "Panama Papers" berjumlah 899 nama.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.