Pada triwulan pertama tahun 2015, Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan jajarannya untuk memperhatikan perencanaan dan pembangunan kota-kota Indonesia.
Jokowi menekankan pentingnya kota-kota kita untuk lebih inklusif, layak huni dan sekaligus berkelanjutan. Karena itu, dia memastikan pentingnya investasi besar-besaran infrastruktur yang diyakini sebagai strategi penting keluar dari kemelut stagnasi.
Memasuki tahun kedua pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (JK), transformasi kebijakan dan program pembangunan pemerintah yang berlangsung cepat dan ekspansif justru telah membawa sistem penataan ruang kita ke dalam masa yang paling kritis.
Munculnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3/2016 dan Surat Edaran Menteri Koordinator Perekonomian Nomor 163/2015 yang meminta rencana tata ruang untuk menyesuaikan diri dengan arah, bentuk, dan pola kebijakan yang dikeluarkan, sangat aneh dan di luar koridor cara berpikir merencana.
Pada saat yang bersamaan, tantangan besar menghadang. Berdasarkan indeks kenyaman "Indonesian Most Livable City Index" yang dilansir oleh Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia tahun 2014, hampir 50 persen warga kota Indonesia menganggap kotanya tidak nyaman.
Dengan lebih dari 25 kota Indonesia bertumbuh populasinya menjadi lebih dari 1 juta jiwa, kota dan desa mengalami tantangan yang sangat signifikan.
Tekanan investasi atas nama pembangunan menjadi salah satu penyebab. Coba tengok Jakarta yang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi DKI Jakarta 2030, pusat pertumbuhan yang harusnya mengarah ke timur dan barat dengan leluasanya “diarahkan” perusahaan-perusahaan konsultan properti, yang secara membabi-buta mengarahkan pertumbuhan sektor komersial dan perkantoran ke arah selatan seputar koridor TB Simatupang.
Jelas ini menciptakan potensi konflik lapangan dengan guna lahan perumahan, ruang terbuka hijau, dan memengaruhi kewibawaan rencana tata ruang (RTR).
Pemprov Jakarta memilih cara pandang menjadi sangat kapitalistik, dengan mengubah visi RTRW Jakarta 2030, di mana segenap pemangku kepentingan kota menjadi shaerholder dari sebelumnya stakeholder.
Sebuah pendekatan kapitalistik, yang seolah mengamini pemberian kekuasaan besar pada pemilik modal dan pemilik hak veto!
Cabut Aturan yang Saling Kontradiksi
RTR adalah panduan pembangunan yang harus diacu, yang disusun untuk jangka waktu 20 tahun. Acuan ini memiliki sekian banyak program yang harusnya dilaksanakan untuk dapat mewujudkan struktur dan pola ruang yang aman, produktif, dan berkelanjutan.
Percepatan pembangunan infrastruktur untuk meningkatkan daya saing Indonesia harus didukung, tetapi bukan dengan prosedur potong kompas dan mengabaikan RTR sebagai matra spasial pembangunan.
Apabila Pemerintah membutuhkan penyesuaian RTR, maka ubahlah terlebih dulu aturan mainnya, yaitu UU Nomor 26/2007, bukan kemudian malah mengeluarkan aturan yang mengesankan RTR sebagai penghambat investasi.
Setiap stakeholder memiliki hak untuk memanfaatkan ruang, dan kegiatan penyusunan tata ruang adalah proses yang terbuka dan partisipatif.