Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Aturan Kepemilikan Properti Asing Cuma Berdampak di Daerah "3B"

Kompas.com - 16/03/2016, 18:00 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 103 Tahun 2015 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia, ternyata hanya berdampak di Batam, Bintan, dan Bali.

Kawasan yang identik dengan julukan "3B" itu, memang merupakan destinasi bagi orang asing untuk membelanjakan uangnya. (Baca: Akhirnya, Orang Asing Diizinkan Punya Miliki Hunian)

Ketiganya juga merupakan tujuan wisata yang sudah populer di mata turis-turis mancanegara. Jadi, tidak mengherankan banyak orang asing yang membeli properti di sana.

"Batam diincar oleh orang Singapura. Mereka punya bisnis atau industri di Batam, jadi butuh rumah untuk dijadikan tempat tinggal. Sementara Bali merupakan "pelarian" orang-orang Australia," papar Ketua DPD AREBI DKI Jakarta, Lukas Bong, kepada Kompas.com, Rabu (16/3/2016). 

Menurut Lukas, Bintan di Kepulauan Riau juga sudah dianggap sebagai surga bagi orang-orang Singapura atau Malaysia yang ingin berlibur.

Namun begitu, kata Lukas, secara umum PP nomor 103/2015 tersebut nihil dampaknya terhadap pertumbuhan properti di Indonesia. 

Hal itu lantaran beleid baru ini justru tidak sesuai dengan ekspektasi pasar. Misalnya, jangka waktu kepemilikan.

Seharusnya status Hak Pakai yang tercantum dalam pp tersebut disamakan dengan Hak Guna Bangunan (HGB), agar orang asing semakin tertarik membeli.

Contohnya Singapura yang memberlakukan status free hold. Status ini sama kekuatan hukumnya dengan sertifikat hak milik, sehingga banyak pembeli asing termasuk asal Indonesia yang beli rumah di sana.

Harga terlalu tinggi

Kekurangan lainnya yang menjadi alasan pp tersebut tak bergigi adalah tentang batasan harga properti yang bisa dibeli orang asing. 

"Ada yang mengusulkan Rp 5 miliar atau Rp 10 miliar. Angka-angka asumsi dan spekulatif ini justru akan makin membuat orang asing emoh membeli properti di Indonesia," tambah Lukas.

Harga properti Rp 5 miliar dan Rp 10 miliar yang diusulkan oleh beberapa pihak, termasuk mahal bagi orang asing. Termasuk oleh orang Singapura sekalipun.

"Mereka menganggap harga properti tersebut terlalu mahal. Siapa yang mau beli? Mungkin hanya orang asing yang levelnya pengusaha sukses yang memang mampu membeli dengan harga setinggi itu," beber Lukas.

Sementara pada saat bersamaan, harga properti di Singapura dalam beberapa tahun terakhir, justru menurun seiring langkah-langkah pendinginan yang diambil pemerintahnya.

Harga properti residensial merosot hampir 4 persen pada 2015 dan Knight Frank memprediksi akan lebih turun lagi, yakni 3,3 persen pada tahun ini.

"Kondisi ini makin memicu keengganan asing belanja properti di Indonesia," pungkas Lukas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau