Menurut Dosen Kelompok Keahlian Perumahan Permukiman Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SKPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB), Jehansyah Siregar, lima poin ini penting diperhatikan sebelum UU Tapera efektif diberlakukan.
Pertama, mengenai besaran pungutan yang dipotong dari penghasilan pekerja. Ada wacana pungutan sebesar 3 persen. Namun, angka ini dipandang Jehansyah terlalu memberatkan, baik bagi perusahaan maupun pekerja.
Jehansyah mengusulkan, besaran pungutan hanya 0,5 persen. Rinciannya, 0,1 persen dibayarkan oleh perusahaan, dan 0,4 persen oleh pekerja.
"Angka 0,5 persen ideal. Tidak terlalu memberatkan," ujar Jehansyah kepada Kompas.com, Kamis (25/2/2016).
Dengan pungutan sebesar itu, jika perusahaan punya 1.000 pekerja dengan rerata berpenghasilan Rp 5 juta, dana yang terkumpul sebesar Rp 300 juta per tahun.
Poin kedua, lanjut Jehansyah, hilangkan manajemen investasi dan penempatan dana-dana untuk investasi (placement deposit). Dalam UU Tapera manajemen investasi ini bisa dimaknai sebagai sarana bancakan investasi para pejabat pemerintah.
"Jadi, sebaikanya ditiadakan. Dana pungutan Tapera ini langsung saja diserahkan kepada bank pelaksana, katakanlah PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) yang memang punya kapasitas dan pengalaman dalam pembiayaan perumahan," tutur Jehansyah.
Dengan demikian, keberadaan Badan Pengelola (BP) Tapera menjadi tidak diperlukan. BP Tapera, kata Jehansyah, justru kontraproduktif, karena ini merupakan organisasi baru. Dengan membentuk organisasi baru, berarti ada pembiayaan baru. Hal ini tidak efektif.
Poin ketiga, pemerintah harus memutuskan penunjukan lembaga pelaksana pembangunan perumahan, sekaligus mengembangkan delivery system pembiayaan yang tertuang dalam peraturan pemerintah (PP) nanti.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.