JAKARTA, KOMPAS.com — Mochtar Riady, pendiri sekaligus Chairman Lippo Group, merupakan satu di antara segelintir orang yang didapuk sebagai "maestro" perbankan dan properti Indonesia.
Karena kapasitas dan kompetensinya itulah, Mochtar sempat ditelepon Menteri Sekretaris Negara pemerintahan Orde Baru, Moerdiono, untuk bekerja sama dengan Hutomo Mandala Putera (Tommy Soeharto).
"Babe (Soeharto) minta kamu ikut membereskan dan mengembangkan proyek anaknya," ungkap Mochtar menirukan Moerdiono.
Tak kuasa menolak, Mochtar pun terpaksa ikut membangun proyek jumbo seluas 3.000 hektar bertajuk Bukit Sentul di Babakan Madang, Kabupaten Bogor.
Selain Tommy, PT Bukit Sentul juga dibesut oleh Salimin Prawiro Sumarto. Adapun kegiatan pembangunan perumahan dan pekerjaan infrastruktur dimulai pada Januari 1994.
Keterlibatan Mochtar berlanjut. Hingga setahun usia kerja sama mereka berdua, timbul masalah keuangan.
Rupanya, kata Mochtar, kolega bisnisnya tidak menjalankan perusahaan secara profesional. Hal itu ditandai dengan wanprestasi berupa upah kontraktor yang tidak dibayarkan.
"Padahal, keuangan mereka yang pegang, tapi mereka tidak membayar kontraktor," beber Mochtar saat peluncuran buku Manusia Ide di Hotel Aryaduta Jakarta, Selasa (26/1/2016).
Tak pelak, nama Lippo Group pun ikut terseret. Imperium bisnis yang dirintisnya dengan susah payah itu dianggap tidak kredibel dan cekak sehingga akhirnya timbul rush dan ketidakpercayaan publik.
Mochtar menuturkan, mungkin itulah saatnya bagi dia dan Lippo Group untuk melakukan general checking dan mulai memberlakukan pengetatan kredit.
Hingga kemudian general checking menjadi budaya yang melembaga di semua entitas perusahaan yang dimiliki Lippo Group.
Cara berbeda
Caranya mengembangkan properti berbeda dibanding pengembang lainnya. Bahkan, dengan sesama maestro, Ciputra, sekalipun tak serupa.
Menurut Mochtar, dia tidak sekadar membangun lahan dan kemudian menjualnya. Lippo Group melalui sayap properti PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) adalah pengembang kawasan.
"Saya mempelajari cara bisnis yang berbeda ini dari pengalaman selama 47 tahun jadi bankir," ucap Mochtar.
Lelaki paruh baya kelahiran Batu, 1929 silam, ini berkisah, perubahan orientasi bisnis ke sektor properti karena trauma di sektor perbankan.
Baginya, perbankan demikian menakutkan. Dia kemudian mencontohkan krisis moneter yang berawal di Amerika Serikat pada 2008 lalu, hampir semua bank besar diselamatkan (bail out) pemerintah.
"Pekerjaan yang demikian sulit ini jangan diwariskan ke anak, cucu, atau keluarga yang lain," cetusnya.
Sejak terjun di sektor properti, Mochtar menerapkan konsep pengembangan multifungsi dan terintegrasi.
Ide dan konsep tersebut kemudian diwujudkan dalam bentuk pembangunan kota mandiri bertajuk Lippo Karawaci (sekarang Lippo Village).
Memang berbeda dari pengembangan yang dibesut perusahaan properti lainnya. Di Lippo Village, LPKR membangun lebih dulu infrastruktur dan fasilitas pelengkap serta pendukung perumahan.
Sebut saja, pusat belanja, perkantoran, lapangan golf, sekolah, ruko, area komersial, fasilitas olahraga, dan lain-lain.
"Saya juga membangun rumah sakit. Sampai kemudian akhirnya saya mengerti bagaimana membangun dan mengelola rumah sakit yang baik dan profesional," ungkap Mochtar.
Aset propertinya tersebar di seluruh Indonesia. Sebut saja St Moritz Penthouse and Residences di Puri Indah, Jakarta, Kemang Village Jakarta, Holland Village Jakarta, Orange County Cikarang, Lippo Cikarang, St Moritz Penthouse and Residence Makassar, Monaco Bay Manado, Lippomalls Yogyakarta, dan City of Tomorrow Surabaya.
Semua proyek tersebut mencakup apartemen, hotel, perkantoran, pusat belanja, rumah sakit, sekolah, dan fasilitas penunjang lainnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.