JAKARTA, KOMPAS.com - Properti mempunyai daya untuk menggerakkan ekonomi suatu bangsa. Demikian halnya saat nilai tukar mata uang Rupiah yang terus merosot terhadap dollar AS, sektor properti menjadi yang paling memegang peran vital. Namun, seberapa besar daya gerak itu?
Chairman Lippo Group, Mochtar Riady, mendeskripsikan besarnya pengaruh sektor properti terhadap perekonomian negara adalah tatkala raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat, limbung pada 2008 karena sektor propertinya mengalami kesulitan.
Tak cukup memberi contoh negara Paman Sam, Mochtar pun mengambil satu nama besar lainnya yakni Tiongkok. Negara Tirai Bambu ini, mengalami kesulitan serius saat sektor propertinya dalam kondisi over supply, dan over capacity.
Ledakan propertinya tak terbendung yang didorong tingginya grosss domestic product (GDP) dengan nilai 10.000 dollar AS per kapita. Tingginya pendapatan masyarakat Tiongkok ini kemudian menstimulasi munculnya investor-investor dengan motif spekulasi yang mengharapkan keuntungan besar dari harga properti yang naik gila-gilaan.
Langkah pendinginan tersebut memang mampu mengerem terjadinya gelembung (bubble) properti di satu sisi, namun di sisi lain pertumbuhan ekonomi Tiongkok langsung merosot menjadi 7 persen, dari sebelumnya 10 persen. Akibatnya, permintaan komoditas pun ikut anjlok.
"Di Indonesia sendiri, sektor propertinya mendorong pergerakan 150 industri. Ekonomi negara bergantung pada properti karena menyangkut begitu banyak industri," tutur Mochtar saat memberikan kata sambutan dalam penganugerahan Golden Property Awards di Raffles Hotel, Jakarta, Rabu malam (26/8/2015).
Jadi, lanjut Mochtar, seharusnya pengusaha properti (pengembang) jangan diperas. Sebaliknya, pemerintah perlu mendorong pertumbuhan industri properti dengan mengurangi pajak, dan memberikan insentif lebih banyak agar perekonomian dan industri properti mengalami pertumbuhan positif.
Mochtar mengibaratkan konstelasi ekonomi dunia saat ini yang diwarnai gonjang-ganjing nilai tukar mata uang, dalam frasa the world is flat. Seluruh negara saling ketergantungan satu sama lain, tidak bisa berdiri sendiri atau stand alone.
Indonesia, kata Mochtar, jelas sangat terpengaruh kondisi Tiongkok. Ditambah lagi ketika dollar AS apresiasi 10 persen terhadap mata uang lainnya, sangat tidak menguntungkan Tiongkok sehingga negara ini melakukan devaluasi Renminbi sebesar 3 persen.
"Devaluasi Renminbi akan terus berlanjut, menjadi 10 persen. Ini isu besar jika Renminbi terus turun, dan negara lain ikut-ikutan, saya khawatir kita akan menghadapi perang mata uang yang tidak menguntungkan ekonomi dunia," tandas Mochtar.
Pertanyaan selanjutnya, setelah devaluasi apakah ekonomi Tiongkok akan kembali pulih, dan properti booming. Jika itu bisa dicapai, maka ekonomi dunia akan aman, namun jika itu tidak dapat mendorong aktivitas ekspor-impor makan akan terjadi bencana.
"Faktor Amerika, dan Tiongkok demikian nyata mempengaruhi kita. Tidak ada satu pun negara di dunia yang bisa mempertahankan nilai mata uangnya pada suatu tingkat tertentu menjadi tetap atau floating. Semua negara sangat tergantung pada negara lainnya," tutup Mochtar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.