Hal ketiga adalah mengenai status kepemilikan properti (rumah dan apartemen) tempat tinggal adalah Hak Pakai (HP).
Status kepemilikan ini, kata Vivin, bukan sesuatu yang baru. Dari dulu, sejak PP Nomor 41 tahun 1996 pun, orang asing hanya diberi status HP, bukan HGB, apalagi SHM.
Sementara status apartemen yang dipasarkan di Indonesia itu masih HP di atas lahan HGB. Dengan berlakunya pp baru ini, berarti pengembang harus mendegradasi status HGB menjadi HP.
"Ini kontraproduktif. Butuh waktu dan biaya untuk mengubah status lahannya," sebut Vivin.
Klausul keempat adalah batas waktu kepemilikan properti. Sebaiknya, kata Vivin, lebih gamblang lagi diberikan batas waktu 80 tahun atau 90 tahun. Ketimbang 30 tahun, kemudian diperpanjang 20 tahun, dan diperbarui lagi 30 tahun.
"Singapura dan Malaysia memberlakukan freehold, sementara Indonesia dengan aturan itu jatuhnya jadi leasehold," pungkas Vivin.