"Regulasi baru belum bisa mem-boost penjualan properti yang mengalami perlambatan sejak kuartal ketiga 2015 lalu. Masih banyak hal-hal yang sebetulnya bisa dioptimalkan," papar Head of Advisory JLL Indonesia, Vivin Harsanto, kepada Kompas.com, Rabu (20/1/2016).
Klausul yang perlu dioptimalkan, kata Vivin, menyangkut banyak hal. Pertama, tentang definisi Orang Asing yang boleh membeli dan memiliki rumah tempat tinggal.
Dalam pp anyar hanya disebut "Orang Asing yang berkedudukan di Indonesia (selanjutnya disebut Orang Asing) adalah orang yang bukan Warga Negara Indonesia (WNI) yang keberadaannya memberikan manfaat, melakukan usaha, bekerja, atau berinvestasi di Indonesia."
"Ini tidak menarik buat pasar. Ekspektasinya kan semua orang asing, baik yang berdomisili di luar negeri maupun ekspatriat di sini," tambah Vivin.
Sementara dalam beleid baru tercantum "Dalam hal Orang Asing meninggal dunia, rumah tempat tinggal atau hunian sebagaimana dimaksud dapat diwariskan. Ahli waris sebagaimana dimaksud harus mempunyai izin tinggal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Hal ketiga adalah mengenai status kepemilikan properti (rumah dan apartemen) tempat tinggal adalah Hak Pakai (HP).
Status kepemilikan ini, kata Vivin, bukan sesuatu yang baru. Dari dulu, sejak PP Nomor 41 tahun 1996 pun, orang asing hanya diberi status HP, bukan HGB, apalagi SHM.
"Ini kontraproduktif. Butuh waktu dan biaya untuk mengubah status lahannya," sebut Vivin.
Klausul keempat adalah batas waktu kepemilikan properti. Sebaiknya, kata Vivin, lebih gamblang lagi diberikan batas waktu 80 tahun atau 90 tahun. Ketimbang 30 tahun, kemudian diperpanjang 20 tahun, dan diperbarui lagi 30 tahun.
"Singapura dan Malaysia memberlakukan freehold, sementara Indonesia dengan aturan itu jatuhnya jadi leasehold," pungkas Vivin.