Jakarta gagal karena tidak melibatkan partisipasi aktif warganya. Sehingga warga tidak punya rasa memiliki atau sense of belonging.
"Dalam menangani banjir, misalnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta berjalan sendiri," imbuh Yayat.
Segala keputusan dan kebijakan Pemprov DKI Jakarta melalui terkait hitung-hitungan ekonomis. Demikian halnya dengan kecerdasan berteknologi. Teknologi dimanfaatkan bukan untuk membangun warganya menjadi lebih berkualitas.
Sebaliknya, tambah Yayat, teknologi diukur seberapa besar mendatangkan pemasukan (uang) bagi Pemprov DKI Jakarta. Wajar kota ini selalu mengalami krisis dan darurat. Baik darurat sampah, macet, maupun banjir.
"Keguyuban hilang dari Jakarta," pungkas Yayat.