Berdasarkan catatan Kompas.com, hingga September 2015, setidaknya terdapat 37 proyek properti baru yang sudah dan sedang dikembangkan di ibu kota Jawa Tengah ini. Sebanyak 14 di antaranya merupakan proyek multifungsi dengan nilai investasi serentang Rp 350 miliar hingga Rp 1,5 triliun.
Proyek-proyek tersebut dibangun tidak saja oleh pengembang lokal macam Pollux Properties Group, melainkan juga raksasa properti Nasional seperti Lippo Group, Sinarmas Land Group, dan Ciputra Group.
Bahkan pengembang-pengembang BUMN ikut terpincut berburu pundi di Semarang. Sebut saja PT HK Realtindo yang membangun HAKA Hotel, PT PP Properti Tbk yang membesut apartemen 7 menara bertajuk Amartha View, dan PT Adhi Persada Properti (APP) yang menggarap rumah toko, kios, dan hotel Grand Dhika.
Apa yang membuat mereka mau masuk Semarang?
Hasil riset Bank Indonesia (BI) atas perkembangan harga properti komersial dan residensial per kuartal III-2015 mungkin bisa menjadi jawaban aktual. Menurut BI, Semarang mencatat pertumbuhan harga residensial tertinggi di Pulau Jawa dengan angka rerata 10,35 persen. Kota ini hanya kalah dari Makassar, dan Batam di level nasional yang masing-masing membukukan kenaikan rerata 12,94 persen, dan 11,07 persen.
Di sektor apartemen sewa, dari total pasokan sebanyak 4.999 unit, sebanyak 79,37 persen di antaranya tersewa dengan tarif rerata Rp 18,6 juta per meter persegi per bulan. Untuk sektor hotel, dari 3.954 unit kamar atau tumbuh 2,87 persen, dihuni dengan angka rerata 57,64 persen.
Sementara ritel dan kawasan industri memperlihatkan kenaikan harga signifikan masing-masing 6,93 persen dan 11,20 persen menjadi Rp 493.075 per meter persegi perbulan dan Rp 2.015.518 per meter persegi.
"Jika sebelumnya orang-orang Semarang lebih save menanamkan uangnya di bank dalam bentuk tabungan dan deposito, serta emas. Kini mereka mulai beralih berinvestasi di sektor properti," ungkap Galih kepada Kompas.com, Senin (2/11/2015).
Galih menambahkan dengan peralihan perilaku investasi ini, mendorong pertumbuhan harga semakin tinggi. Pihaknya bahkan telah menyiapkan kenaikan harga untuk produk terbarunya, Amartha View menjadi Rp 14 juta per meter persegi pada awal tahun 2016.
Strategi penerapan harga (pricing) ini ditempuh karena tingkat penjualan sudah mencapai 200 unit dari total 789 yang dipasarkan dalam peluncuran perdana. Harga awal dipatok Rp 10 juta per meter persegi atau sekitar Rp 200 juta hingga Rp 500 juta per unit untuk ukuran 22 meter persegi-44 meter persegi.
Area tangkapan
Selain bisnis hunian, terutama apartemen, Semarang juga potensial untuk bisnis pergudangan dan kawasan industri.
Menurut Direktur Properti PT Adhi Persada Properti (APP) Pulung Prahasto, rumah toko dan pergudangan yang dibesut perusahaan, Grand Dhika Commercial Estate, laku terserap pasar kurang dari satu tahun.
"Industri manufaktur, logistik, dan consummer goods serta industri pengolahan makanan membutuhkan gudang penyimpanan. Ini yang kemudian produk kami disambut antusias," tutur Pulung.
Karena itu, wilayah tangkapan atau catchment area yang disasar para pengembang lebih luas. Selain Semarang dan sekitarnya juga Pekalongan, Tegal, Brebes, Jepara, Solo, dan Yogyakarta.
Dengan luasnya wilayah tangkapan ini, bahkan CEO Leads Property Indonesia, Hendra Hartono, memproyeksikan Semarang sebagai alternatif bagi Jakarta untuk bisnis kawasan industri dan pergudangan.
Karena itulah, PT PP Properti Tbk berani memasang target senilai Rp 550 miliar dari dua menara Amartha View yang dikembangkannya.
"Pembelinya dari area-area yang disebut di atas. Mereka investor, end user, dan pebisnis yang punya usaha di kawasan industri Semarang dan Jawa Tengah pada umumnya," pungkas Galih.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.