Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 26/10/2015, 07:00 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

Ada beberapa catatan menarik, investor generasi awal lebih tertarik menggarap proyek-proyek “landmark” ketimbang proyek berklasifikasi di bawahnya atau “ecek-ecek”. Mereka berkompetisi, bahkan tak jarang menjadikan satu sama lain sebagai rival. Persaingan sengit tidak saja dalam tataran besaran nilai investasi, juga skala proyek, dan keunikan desain. 

Contohnya Mitsui Corporation dan JAL Hotels Corporation yang membangun Wisma Nusantara. Ini merupakan gedung perkantoran pertama di bilangan MH Thamrin, Jakarta Pusat, sebagai simbol "invasi" Jepang di Indonesia. Karena di sini bercokol perusahaan-perusahaan negara Matahari Terbit sebagai tenannya. Mitsui Corporation dan JAL Hotels Corporation menggaet  Indocement Tunggal Prakarsa sebagai mitra lokal strategis. Wisma Nusantara juga popular dijuluki  Hotel President (saat ini Pullman Hotel). 

Kesuksesan Wisma Nusantara secara komersial, diekori Itochu Corporation yang berkolaborasi dengan Jakarta Setiabudi International. Hasil karya mereka adalah Menara Cakrawala (Skyline Building) yang dibangun pada 1976. 

Kemudian berturut-turut pada medio 1980-an, Sumitomo mendirikan Summitmas Tower. Bangunan jangkungyang disewakan ini merupakan usaha patungan antara Sumitomo dan perusahaan Indonesia di bawah naungan bendera Summitmas Property. 

Dalam perjalanannya kemudian, perusahaan ini memfokuskan diri pada pengembangan dan manajemen gedung perkantoran (commercial high rise). Menurut laporan Leads Property Indonesia, hingga saat ini Summitmas Property sudah membangun dan mengoperasikan dua gedung perkantoran, yaitu Summitmas I dan II. 

Saat yang sama, Kyoei Corporation menyulap lahan kosong di koridor Sudirman menjadi gedung megah Prince Center. Terdorong oleh tingkat okupansi yang tinggi, mereka kemudian mengembangkan Kyoei Prince pada 1993. Sementara Shimizu Corporation, pada 1987, melansir Mid Plaza yang dilengkapi dengan fasilitas akomodasi yang sekarang bernama Intercontinental Hotel. 

Tidak seperti generasi pertama, rombongan investor Jepang berikutnya lebih ramah terhadap segala peluang pengembangan properti. Mereka mulai melirik kawasan sub urbanJakarta, seperti Cikarang di Bekasi, Jawa Barat. 

Adalah Marubeni Corporation yang mengawali pergeseran orientasi investasi ini. Bersama dengan Manunggal Group, pada 1990, Marubeni membentuk perusahaan bertajuk Megalopolis Manunggal Industrial Development guna membesut MM2100.

Ini merupakan sebuah kawasan industri seluas 805 hektar. Terdapat 170 perusahaan manufaktur dan bisnis terkait yang sudah beroperasi di sini. Aksi strategis Marubeni menggoda sesama pengembang Jepang lainnya.

thinkstock Ilustrasi apartemen
Menurut data Leads Property Indonesia, Sumitomo yang sudah memiliki portofolio perkantoran vertikal di kawasan Segi Tiga Emas Jakarta, pada 1996 menggandeng Lippo Cikarang dan Spinindo Mitradaya guna membangun East Jakarta Industrial Park (EJIP). 

Berbeda dengan perusahaan Jepang lainnya, Itochu dan Sojitz justru menggarap hunian tapak yang saat itu belum banyak dilirik. Mereka mengajak Sinarmas Land melansir Kota Wisata di Cibubur. Tak hanya itu, bersama mitra lokal yang sama, Sojitz juga mengembangkantownship development Kota Deltamas seluas lebih kurang 3.000 ha dan kawasan industri Greenland International Industrial City (GIIC) seluas 1.300 ha.

Sedangkan Itochu mendapat konsesi untuk “menguasai” lahan seukuran 1.200 ha guna dimanfaatkan sebagai Karawang International Industrial City (KIIC). 

Lain lagi dengan Kajima Corporation yang bersama perusahaan domestik membidani kelahiran Senayan Trikarya Sempana. Mereka tidak latah membebek jejak pionir kawasan industri, justru mendekati Badan Layanan Umum (BLU) Pusat Pengelolaan Gelora Bung Karno untuk membangun superblok Senayan Square dengan ikon pusat belanja mewah, Plaza Senayan. 

Arimbi Ramadhiani Pencanangan perdana Aeon Mall di Jakarta Garden City, Jakarta Timur, Rabu (7/10/2015).
Fenomena “diaspora” itu kemudian berkembang ke sektor atau jenis properti lainnya. Seperti perhotelan, resort, residential dan lain-lain. Lokasi pengembangan juga mulai terdistribusi ke seluruh Indonesia, mulai Batam, Bintan, Karimun, Bali, Surabaya hingga Manado. 

Invasi investasi Jepang terbukti telah mengubah wajah sektor properti Indonesia. Kehadiran mereka mampu memotivasi pengembang lokal guna meningkatkan kapasitas dan daya saing. Kesadaran itu mulai tumbuh dalam rentang waktu 1980 hingga akhir abad 20.

Pasar properti Indonesia pun mencapai masa puncak pada saat itu. Proyek berskala miniblok dan superblok bertebaran di hampir semua kota besar di Indonesia, baik yang dikembangkan oleh investor Jepang maupun pemain lokal. Tingkat penjualan meningkat, permintaan menguat dan produksi properti, khususnya perumahan  dan perkantoran komersial juga melesat ke level yang belum pernah dicapai sebelumnya. 

worldpropertychannel.com Ilustrasi; pusat belanja menggurita di Indonesia.
 

 

 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads

Copyright 2008 - 2023 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com