Dia berjalan perlahan menuju panggung acara. Dengan sikap malu-malu, lelaki berusia 78 tahun itu diperkenalkan oleh pemandu acara sebagai "RI Satu". Sontak para tamu undangan dan penduduk Desa Tanjung Anom, Kecamatan Mauk, Kabupaten Tangerang, bertepuk tangan riuh.
Sebutan "RI Satu" diberikan kepada penerima bantuan rumah instan sederhana sehat perdana hasil pengembangan PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk atau RISHA-Indocement (RI), Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Habitat for Humanity. Adapun penerima kedua, ketiga, dan seterusnya hingga mencapai ke-11 dijuluki "RI 2"-"RI 11".
Siapa "RI Satu" ini? Dialah Sarmin. Mengenal lebih dekat Sarmin sama halnya dengan menyelami makna perjalanan panjang dan perjuangan hidup. Kerutan kasar yang menyapu paras, dan kulit legamnya, adalah gambaran sempurna dari perjalanan panjang dan perjuangan hidup itu.
Setiap malam, Sarmin dan Unah bercengkerama dalam gelap sebelum menjemput lelap. Aliran listrik sudah lama tidak mampir ke rumah yang mereka sebut "gubuk reyot" ini.
"Kalau hujan, kami repot. Genteng pada bocor. Terpaksa ditutup pake plastik. Semalam hujan, emak dan bapak enggak bisa tidur," kata Unah kepada Kompas.com, seusai berpose bareng beserta "penerima RI" lainnya, Selasa (22/9/2015).
Namun, mereka bukanlah manusia-manusia manja yang hidup hanya menadah belas kasih. Keduanya adalah pekerja keras dan juga sangat tahu cara menyukuri nikmat serta berterima kasih kepada Tuhannya.
Sarmin berkisah, pagi-pagi sekali, seusai shalat subuh, dia dan istrinya pergi ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) Tanjung Anom. Keduanya membersihkan makam dari rerumputan liar dan daun-daun berguguran, membuang sampah, dan mengelap batu-batu nisan agar kembali mengilap.
Mereka tak mengantongi uang, melainkan bahan kebutuhan sebagai upah yang diberikan ahli waris yang keluarganya dimakamkan di TPU tersebut. Itu pun tak mereka terima setiap hari.
Bahkan, sering mereka tidak makan sama sekali. Sebagai gantinya, mereka mengaji di atas dipan beralas tikar yang juga difungsikan sebagai tempat tidur.
Satu-satunya rezeki yang mereka anggap paling sempurna dan mengalahkan rezeki lainnya adalah perlengkapan shalat. Mukena, sajadah, baju koko, dan peci mereka rawat agar dapat digunakan kembali.
"Itu saja sudah rezeki, Neng. Emak dan bapak mah enggak apa-apa, yang penting masih bisa shalat. Kadang kalau emak ketiduran atau capek, bapak suka marahin emak karena telat shalat," kata Unah sambil menepuk-nepuk pundak suaminya.
Kurang dari dua jam
Sarmin dan Unah bukanlah satu-satunya keluarga yang hidup di gubuk reyot. Menurut National Director Habitat for Humanity James Tumbuan, ada 500 kepala keluarga yang pantas mendapat bantuan rumah layak huni di lima desa di Kecamatan Mauk ini.
"Selain Desa Tanjung Anom, empat lainnya adalah Desa Kedung Dalam, Desa Marga Mulya, Desa Gunung Sari, dan Desa Sasak," ungkap James.
Mudah dipahami jika Sarmin dan Unah sangat antusias dan mengekspresikan kebahagiaannya mendapat bantuan rumah permanen layak huni ukuran 36 meter persegi. Mereka terus menebar senyum dan tepuk tangan gembira tatkala nama mereka disebut-sebut pemandu acara.
"Emak senang. Nanti tidur enggak kebocoran lagi," tandas Unah dengan mata berkaca-kaca seraya tetap tersenyum seolah ingin berbagi kebahagiaan dengan siapa saja yang dijumpainya.