"Kalau MEA dieksekusi, kita bisa penetrasi pasar. Negara-negara berkembang secara intensif membangun gedung. Di MEA, kita berkompetisi dengan negara yang teknologinya jauh lebih maju. Kita punya kesempatan," ujar Ali saat Forum Group Discussion (FGD) Telaah Urgensi Rencana Undang-undang (RUU) Arsitek dan RUU Jasa Konstruksi, di Kompleks DPR/MPR, Jakarta, Senin (31/8/2015).
Ali mengakui, MEA memang menguntungkan negara paling maju. Namun, peran Indonesia sangat signifikan, mengingat sukses tidaknya MEA ditentukan juga oleh Indonesia. Karena negara kepulauan ini memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia yang mumpuni.
Potensi Indonesia cukup baik mulai dari shifting yang berbasis alam maupun berbasis manusia. Indonesia juga memiliki pasar yang baik soal konstruksi. Dengan berlakunya MEA, maka akan tercipta kesempatan investasi asing masuk di Indonesia.
Ali menjelaskan, Tiongkok lebih maju karena memiliki Hongkong. Di ranah ASEAN, Indonesia memiliki jaringan dekat dengan Singapura, yang bisa menjadi jembatan untuk jaringan investasi yang jauh lebih baik. "MEA itu filosofinya harus saling melengkapi. Memang ada tantangan, tapi pasti bisa diatasi," kata Ali.
Tantangan tersebut, antara lain adalah soal edukasi, koordinasi, dan birokrasi. Dengan demikian, peran serta UU konstruksi sangat berpengaruh. Dalam UU konstruksi, perlu ada pengkajian mulai dari membangun gedung, sampai proses renovasi beberapa tahun kemudian.
Saat ini, menurut Ali, ketika proses tender, biasanya satu kontraktor bisa mengambil alih seluruh bagian tersebut. Namun, perlu diingat bahwa ada perubahan paradigma, jangan sampai saat membangun, kontraktor lupa bagaimana gedung beroperasi atau dirawat. Kontraktor juga perlu memikirkan usia bangunan, misalnya sampai 40 tahun.
Jika mempertimbangan hal-hal tersebut, perhitungannya bisa berubah total, mulai dari pembiayaan proyek, hingga desain. Ali mencontohkan, saat membangun gedung convention center, kontraktor bisa saja mengurangi anggaran sehingga biaya pembangunan bisa lebih murah. Namun, pada saat perawatan, biayanya justru bisa jadi lebih mahal.
Sebaliknya, saat kontraktor menyematkan teknologi smart building atau bangunan pintar yang ramah lingkungan, biaya pembangunan awalnya lebih mahal. Meski demikian, operasinya dalam kurun waktu 30-40 tahun, bisa lebih murah.
Ali berharap, RUU bisa fokus terhadap pemakaian teknologi. "Supaya menciptakan nilai tambah dan bisnis kontruksi menjadi lebih menarik. Proyek-proyek harus berbasis nilai tambah dengan adanya alih teknologi," kata Ali.