Bila iklim ekonomi kondusif maka potensi untuk properti tumbuh ada. Sebaliknya, jika tidak kondusif, bisa dilihat dari investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI), bisnis properti hanya akan berjalan normal-normal saja, bahkan mungkin terkoreksi.
"Jika FDI besar berarti negara ini menarik bagi investor asing, demikian sebaliknya. Inilah yang menjadi harapan pengusaha properti Indonesia khususnya yang berada di kelas menengah atas agar pemerintah bisa secara konsisten menciptakan situasi ekonomi yang menarik," cetus Tanto.
Singapura menjadi contoh bagaimana fluktuasi investasi properti menjadi hal yang sangat menarik. Negara ini mendukung bisnis properti dengan menciptakan fasilitas dan infrastruktur yang lengkap dan canggih agar investor mau beli properti di sana. Dengan begitu, devisa masuk melalui penjualan properti.
Di Indonesia? Keran kepemilikan warga asing tidak akan serta merta membuat market bergairah. Kontribusinya sangat kecil dan sangat terbatas terhadap pertumbuhan usaha. Yang lebih penting adalah bagaimana rakyat Indonesia sebanyak 250 juta sebagai pangsa pasar yang besar, terpenuhi kebutuhan rumahnya.
"Perusahaan properti dari Singapura, Australia, Jepang, Inggris, Kanada saja melakukan pameran di Indonesia karena menganggap pasar Indonesia besar. Kok kita malah mengharapkan orang asing investasi properti di sini?," tandas Tanto.
Seharusnya, tambah Tanto, pasar Indonesia digarap dulu dengan benar melalui penyediaan infrastruktur dan jaringannya yang baik berbasis konektivitas, bangun rumah-rumah sakit berkualitas, perbaiki mutu pendidikan, serta gaya hidupnya sehingga orang Indonesia tidak perlu membeli properti di luar negeri.