JAKARTA, KOMPAS.com — Kontroversi kepemilikan properti di Indonesia oleh warga negara asing terus bergulir setelah pemerintah memberikan isyarat lampu hijau pada Selasa (23/6/2015).
Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tengah melakukan kajian usulan Realestat Indonesia (REI) untuk melegalisasi kepemilikan oleh warga negara asing.
"Jika orang asing diperbolehkan memiliki properti di Indonesia, maka bisa menggerakkan pasar properti yang kini tengah lesu. Negara ini merugi jika (warga) asing tidak boleh beli properti di sini, sementara orang Indonesia justru bisa beli properti di sana," kata Menteri PUPR Basuki Hadimuljono.
Walau demikian, langkah pemerintah yang akan membuka keran kepemilikan oleh pihak asing ini dinilai hanya gimmick untuk menarik publik. Kepemilikan oleh warga asing adalah isu yang sangat seksi untuk dibahas menjelang pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir tahun ini.
"Mengizinkan (warga) asing bisa membeli dan memiliki properti itu bagus. Namun, sebelum pihak asing halal punya properti, sejahterakan masyarakat dulu melalui pembangunan perumahan yang terjangkau dan layak huni," ujar Direktur Eksekutif Pusat Studi Properti Indonesia (PSPI) Panangian Simanungkalit kepada Kompas.com, Senin (29/6/2015).
Padahal, kesejahteraan itu diukur dari kepemilikan rakyat atas rumah sebagai salah satu kebutuhan primer selain sandang dan pangan.
Pemerintah, kata Panangian, selama ini tidak tuntas menangani masalah perumahan rakyat. Belum ada perbaikan dan terobosan istimewa sehingga Program Nasional Satu Juta Rumah tidak sekadar jargon.
Sudah 20 tahun pasca-krisis multidimensi, skenario perumahan rakyat tidak pernah berjalan mulus dan sesuai ekspektasi. Kabinet Indonesia Bersatu I dan II Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono hanya mampu menggenjot sisi demand (permintaan) melalui berbagai kemudahan pembayaran konsumen dan kepastian kepemilikan. Sementara itu, sisi pasokan justru diabaikan.
Produksi rumah rakyat, dalam catatan Panangian, hanya berkutat pada angka 70.000-100.000 unit per tahun. Padahal, angka penundaan pembangunan atau backlog sudah mencapai 15 juta unit dengan kebutuhan yang terus meningkat sekitar 1 juta unit per tahun.
Celakanya, prioritas ke sisi permintaan kembali dilanjutkan rezim saat ini. Alhasil, pengembang pun ogah dan tak bergairah memberikan dukungan untuk membantu Program Nasional Satu Juta Rumah. Panangian mencatat, tak ada satu pun pengembang besar yang mau membangun rumah rakyat.
"Karenanya, legalisasi kepemilikan oleh orang asing adalah kebijakan yang tergesa-gesa karena takut bersaing dengan sesama negara ASEAN. Padahal, infrastruktur dan suprastrukturnya belum mendukung," kata Panangian.
Penyerapan minim
Oleh karena itu, dia mengimbau Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak tunduk kepada menterinya hanya karena usulan untuk memancing investasi pihak asing. Bila perlu, tambah Panangian, Jokowi melakukan evaluasi terhadap kinerja Menteri PUPR yang sudah selama enam bulan ini tidak melakukan terobosan apa pun yang secara signifikan mampu menggenjot pembangunan dalam Program Nasional Satu Juta Rumah.
"Prestasinya justru adalah penyerapan anggaran yang sangat minim, hanya 10 persen dari total anggaran Kementerian PUPR Rp 116,8 triliun," beber Panangian.
Jokowi harus berani memberikan sanksi kepada Menteri PUPR karena tak mampu menciptakan mekanisme permintaan dan pasokan yang seimbang. Menurut Panangian, Jokowi jangan lantas melompat meneken kebijakan yang belum tentu mampu mempercepat eskalasi pertumbuhan properti, sementara kebutuhan hunian rakyat masih terbengkalai.
Pasalnya, kata Panangian, ekspatriat yang bekerja di Indonesia berjumlah 70.000-100.000 orang. Angka ini jauh di bawah jumlah ekspatriat yang bekerja dan berkedudukan di Malaysia atau Singapura.
Karena itu, kalaupun para ekspatriat ini diizinkan membeli dan memiliki properti, potensi volume transaksinya masih sangat kecil, yakni hanya sekitar Rp 70 triliun. Angka ini didapat dari asumsi sekitar 20 persen dari total ekspatriat yang membeli properti dengan harga Rp 5 miliar per unit.
"Itu jumlah yang sangat kecil untuk negara sebesar Indonesia. Karena itu, hal ini perlu dikaji sungguh-sungguh. Pemerintah juga harus bekerja keras merealisasikan Program Nasional Satu Juta Rumah secara simultan," ujar Panangian.