Penjualan mereka melorot drastis sekitar 30 persen akibat rumah-rumah yang masih dalam masa pemasaran, atau yang sudah kadung dibangun, tak terserap pasar.
"Kondisi ekonomi aktual dan terpuruknya Rupiah sangat memukul bisnis, dan industri properti di Batam. Sudah dua perusahaan pengembang yang memilih stop membangun karena anjloknya penjualan," tutur Djaja tanpa bersedia menyebut nama kedua perusahaan tersebut.
Djaja menambahkan, akibat penjualan rumah-rumah tak laku, banyak pengembang yang kemudian tak sanggup membayar kontraktor dan pemasok material bangunan. Sebagian lainnya memilih opsi menunda pembayaran.
Banyaknya pengembang yang tidak sanggup membayar kontraktor dan pemasok, menurut Djaja, karena seluruh komponen material utama macam readymix, besi, penutup atap, baja, kabel, dan aluminium itu dibeli dengan mata uang dollar Singapura.
Bagaimana dengan pengembang yang berbasis di Jadebotabek?
Bagi mereka, terutama pengembang papan bawah dan menengah, menjaga arus kas (cashflow) agar tetap mengalir saja sudah baik. Bakan, CEO Relife Property Group, Ghofar Rozaq Nadzila mengatakan kondisi tahun ini lebih buruk ketimbang 2008. Pihaknya kemudian memutuskan untuk menjaga keamanan arus kas.
"Penjualan menurun. Kami hanya bisa membuka satu sampai dua klaster pada kuartal pertama tahun ini. Kebijakan pemerintah tidak jelas. Itu yang membuat kami menahan ekspansi," kata Ghofar.
Investor dan calon pembeli, lanjut Ghofar, banyak yang menunda pembelian. Padahal mereka sudah mengerahkan segala taktik, mulai dari pemangkasan harga, hingga marketing gimmick.
"Banyak rekan sesama pengembang kecil dan menengah menderita sekarang," sebut Ghofar.
Konservatif
Kendati sektor properti tengah gonjang ganjing, para pengembang tetap menyimpan optimisme. Kemerosotan atau koreksi, kata Ciputra, tidak akan berlangsung selamanya. Ini hanya siklus, tahun depan diharapkan sudah akan kembali pulih.
"Saya rasa tahun depan akan membaik. Karena koreksi tahun ini tidak separah krisis tahun 1998," kata Ciputra.
Demikian halnya dengan Direktur Utama PT Summarecon Agung Tbk, Adrianto Pitoyo Adhi. Pihaknya tetap optimistis, karena poperti merupakan bisnis yang tetap harus the show must go on.
Dia mengakui, tantangannya memang berat teerutama tiga hal utama yakni kondisi makro ekonomi , gejolak nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dan tingkat inflasi yang cenderung tinggi serta peraturan Bank Indonesia tentang kredit pemilikan properti (KPP) yang dirilis pada 30 September 2013.
Summarecon, menurut Direktur Keuangan dan Sekretaris Perusahaan PT Summarecon Agung Tbk Michael Yong King Ching, akan tetap konservatif dan hati-hati dalam melakukan ekspansi bisnis. Untuk itu, pihaknya hanya akan fokus pada pengembangan Summarecon Bandung.
"Sementara Summarecon Bogor, dan Summarecon Samarinda masih dalam tahap perencanaan dan belum segera dirilis. Namun, satu yang pasti, proyek di Bali akan beroperasi pada kuartal kedua 2016 yakni Hotel Movenpick. Karena yang ini sudah running," beber Michael.