Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 03/06/2015, 16:00 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

CIKAMPEK, KOMPAS.com - Jika kelak Jalan Tol Cikampek-Palimanan (Cikapali) sepanjang 116,75 kilometer beroperasi, diprediksi bakal mengurai kemacetan sekaligus beban Jalur Pantai Utara (pantura) Jawa hingga 60 persen.

Selama ini, jalur yang membentang dari Merak hingga Banyuwangi sepanjang 1.316 kilometer tersebut berperan sangat vital, dan strategis bagi mobilitas masyarakat sehari-hari dan juga momen-momen khusus.

Jalur Pantura memiliki signifikansi yang sangat tinggi dan menjadi urat nadi utama transportasi darat, karena setiap hari dilalui sekitar 20.000 hingga 70.000 unit kendaraan. Jalur ini menjadi perhatian utama saat menjelang puasa, dan Hari Raya Idul Fitri. Hal ini lantaran arus mudik melimpah dari sisi barat ke timur. Sehingga beban jalan, dan densitas kendaraan bertambah tinggi.

Arus paling padat tedapat di ruas Jakarta-Cikampek-Cirebon-Tegal-Semarang. Di Cikampek, terdapat percabangan menuju ke Bandung dan kota-kota di Jawa Barat bagian selatan. Di Tegal, terdapat percabangan menuju ke Purwokerto dan kota-kota di Jawa Tengah bagian selatan. Sementara di Semarang, terdapat percabangan menuju ke timur yakni Surabaya-Banyuwangi, dan menuju ke selatan arah Yogya-Solo-Madiun.

KOMPAS IMAGES / KRISTIANTO PURNOMO-RODERICK ADRIAN MOZES Kemacetan kendaraan di ruas jalur pantura Karawang, Jawa Barat, Jumat (25/7/2014). Puncak arus mudik Lebaran 2014 diperkirakan terjadi hari ini.
Menurut Ketua Program Studi Magister dan Doktor Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung, Harun Alrasyid Lubis, seiring pertambahan kendaraan, Jalur Pantura pun mengalami kelebihan beban, atau dalam istilah teknisnya over loading.

"Jalur Pantura dalam lebih dari 30 tahun menjadi tulang punggung mobilitas masyarakat dari barat ke timur. Namun perawatannya (maintenance) dilakukan ala kadarnya. Sesuatu yang dikerjakan secara sembarangan, dan tidak kuat akan cepat rusak. Demikian halnya dengan Jalur Pantura," tutur Harun kepada Kompas.com, Selasa (2/6/2015).

Harun menambahkan, tidak dipeliharanya Jalur Pantura dengan baik terlihat dari kondisi jalan yang bergelombang, berlubang, dan tidak mulus, pada hampir seluruh bagian dengan densitas populasi kendaraan tinggi.

Perawatan yang dilakukan hanya tambal sulam. Kondisi jalur yang melintasi lima provinsi, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur ini tak pernah "dikondisikan" mulus.

Mekanisme tambal sulam ini yang menyebabkan Jalur Pantura menjadi "misteri" yang seharusnya mudah dipecahkan. Karena, menurut Harun, setiap tahun ada anggaran perbaikan, dan pekerjaan perawatan Jalur Pantura.

Bahkan, tahun ini, menurut Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Hediyanto W Husaini, total biaya perawatan Jalur Pantura senilai Rp 1,5 triliun.

"Tahun ini, kami menganggarkan Rp 250 miliar untuk Ruas Pantura Jawa Barat sepanjang 300 kilometer," buka Hediyanto.

Bongkar

Harun mengusulkan perawatan dan perbaikan Jalur Pantura tidak lagi melalui "mekanisme" tambal sulam, melainkan dibongkar total untuk ruas-ruas yang secara struktural bermasalah. Perbaiki fondasi di bawahnya secara benar dengan mempertimbangkan labilitas tanah dan jalur air dikendalikan sedari awal.

Kendati pun di beberapa segmen kondisi tanah tidak stabil, namun jika konstruksi jalan mengikuti standar dan kaidah-kaidah yang berlaku secara umum, semua masalah dapat dicegah. Pasalnya, sebanyak delapan puluh persen masalah yang terjadi pada jalur dengan densitas tinggi, dan juga contoh kasus Tol Cipularang adalah karena hal tersebut.

"Pembongkaran bisa dilakukan sepanjang Pemerintah mau menanggung konsekuensi dengan membangun jalur alternatif. Karena ide membangun jalan yang kuat, terlebih jalan nasional, butuh modal besar pada awal pembangunan, namun murah saat perawatan," tandas Harun.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com