Sementara yang terjadi sekarang justru high maintenance cost yakni biaya perawatan tinggi. Tak mengherankan, kerap terjadi "pembantaian" lalu lintas yang dipicu ketidakstabilan laju kendaraan akibat kondisi jalan rusak parah.
Jalur Pantura, kata Harun, dulunya memang hanya digunakan selintas saja alias asal lewat. Namun sekarang berbeda kondisinya seiring geliat ekonomi yang pada gilirannya menambah intensitas dan frekuensi jalur distribusi, dan logistik.
Di sinilah, tambah harun, diperlukan kebijakan pemerintah membangun jalan dengan daya tahan kokoh, kuat, dan tahan lama.
Kompetensi dan kompetisi
Kompetensi, dan kompetisi masih menjadi persoalan serius di sektor infrastruktur dasar. Kompetisi, kata Harun, demikian menakutkan. Karena ada banyak pebisnis, dan investor yang ikut bermain, selain pemerintah yang diwakili oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Di samping itu, tambah Harun, pengusaha atau investor jalan, terutama jalan tol ditengarai belum memiliki tingkat kematangan (maturity) dalam membangun, mengoperasikan, dan merawatnya dengan baik. Hal ini disebut netralitas kompetisi.
"Lembaga publik dan swasta silakan bersaing. Tapi, bila ada diskon fair factor atau handicap, para pengusaha jalan dan jalan tol harus mau menanggung konsekuensinya. Sayangnya kita belum punya netralitas kompetisi, dan regulasi yang mengatur tentang hal ini," ujar Harun.
Menyelenggarakan infrastruktur dasar memang tidak gratis. "Ada biaya, ada risiko," tandas Harun. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur sebagai pusat investasi harus diperkuat oleh regulasi-regulasi yang tegas, memungkinkan transparansi, dan penegakkan sanksi jika terjadi penyelewengan-penyelewengan konstruksi.
"Ada area-area transparansi yang selama ini menjadi momok buat para investor. Semua takut, dan akhirnya "main di belakang". Jika sepanjang mereka mampu melaksanakan penugasan, penunjukan langsung atau tender konsesi dengan berkualitas, kenapa harus takut menjadi transparan?" tutur Harun.
Netralitas kompetisi, imbuh Harun, juga harus dibangun oleh pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Bina Marga melalui Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT). BPJT harus jadi wasit yang tegas, independen, dan tidak memihak.
Namun, selama ini, BPJT dihadapkan pada masalah independensi karena penyelenggara jalan dan jalan tol juga melibatkan banyak BUMN yang notabene merupakan perusahaan pelat merah yang dituntut berorientasi profit.
"Seharusnya BPJT dibuat terpisah dan independen. Sehingga mereka bisa dengan leluasa menjatuhkan sanksi kepada pemegang konsensi yang tidak menjalankan komitmennya dengan benar," pungkas Harun.