Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perpaduan Informalitas dan Peradaban Kota di Kampong Glam

Kompas.com - 10/05/2015, 16:10 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

SINGAPURA, KOMPAS.com - "Lokasinya tak jauh dari stasiun MRT Bugis. Hanya walking distance, kamu sudah bisa melihat-lihat kawasan yang selalu ramai dikunjungi wisatawan."

Demikian arahan Bobby Reza Muthalib, profesional pengorganisasi acara kunjungan proyek Keppel Land, kepada saya yang hendak menuju Kampong Glam, di Singapura.

Setelah mengucapkan terima kasih, kami pun berpisah, dengan satu penanda bahwa persuaan kedua, ketiga, dan seterusnya mungkin terjadi lagi yakni senyumnya yang merekah. Hari perpisahan itu terjadi pada Rabu (6/5/2015).

Kampong Glam, atau beken di kalangan pelancong ekonomi (backpacker) sebagai kampung arab, adalah kawasan bersejarah. Berasal dari kata pohon Gelam atau gelam tree yang tumbuh subur dan kerap digunakan untuk membangun kapal.

Hilda B A/KOMPAS.com Singapura butuh satu generasi untuk sampai pada efisiensi dan efektivitas tingkat tinggi. Produk perencana kota, pelaksanaan pembangunan, program revitalisasi, dan partisipasi swastanya berjalan seiring.

Kampung ini secara resmi dialokasikan khusus untuk komunitas Muslim, termasuk etnis Melayu, dan etnis Arab yang kemudian beranak pinak dan melahirkan sebuah warisan arsitektural Masjid Sultan, budaya kekerabatan, dan keramahan, serta tradisi perniagaan yang kental.

Pada tahun 1989, Otoritas Pembangunan Perkotaan Singapura kemudian mengukuhkan Kampong Glam sebagai kawasan konservasi, dan sebagian besar arsitektur asli bangunan-bangunan di sini, telah direvitalisasi.

Kampong Glam adalah sebuah etalase perayaan arsitektural berlanggam Eropa, Tiongkok, kolonial, dan Melayu serta Arab. Pula visualisasi informalitas, dan formalitas sebuah kota dengan peradabannya.

Tak ada sejengkal pun lahan di sini yang bebas 'nilai visual'. Sejauh mata memandang terpampang suguhan keindahan dan keseriusan pemerintah kota Singapura merawat warisan budaya, untuk dinikmati dengan suka cita oleh kalangan muda maupun turis-turis mancanegara.

Deretan ruko berwarna cerah, berjendela besar, dan tak jarang beberapa di antaranya berkubah, memenuhi Bussorah Street, Baghdad Street, Arab Street, dan Kandahar Street. Sebagian diisi oleh pengusaha restoran, kafe, galeri seni, kerajinan, tekstil, perlengkapan haji, karpet, dan barang antik. Sebagian lagi diisi oleh pengusaha berbasis industri kreatif dan informasi, komunikasi serta teknologi.

HBA/Kompas.com Salah satu hotel buat pelancong ekonomi yang dterdapat di Arab Street, Kampong Glam, Singapura.

Di Muscat Street-lah terdapat Masjid Sultan yang dibangun pada 1826. Untuk memasuki tempat suci nan bersejarah ini, pengunjung dan jamaah diharuskan menggunakan pakaian muslim/muslimah. Pengelola masjid menyediakan baju muslim bagi mereka non-muslim yang ingin menikmati dan mengelaborasi bangunan ini.

Seperti kata Bobby, untuk menuju Kampong Glam, pengunjung dapat memanfaatkan transportasi MRT dari pusat kota atau central business district (CBD) dan turun di Stasiun MRT Bugis. Jika kita mengikuti direktori penggunaan MRT, dijamin tidak akan tersesat. Inilah bedanya Singapura dengan kota-kota lain di Asia Tenggara. Segala sesuatu yang menyangkut kehidupan warga kota, dan juga pendatang, direncanakan dengan matang, efektif, dan efisien.

Setelah tiba di Stasiun MRT Bugis, Anda akan disuguhi pusat belanja milik CapitaMall Trust, yakni Bugis Junction, dan terdapat juga Bugis Street Market yang menyediakan beragam barang dengan harga miring. Hanya sepelemparan batu atau tak lebih dari 7 menit jalan kaki dari Bugis Junction, Kampong Glam sudah berada di depan mata.

Hostel

Saya memilih bermalam di sebuah hostel khusus backpacker yang sudah dipesan dua hari sebelum realisasi kunjungan. Hostel ini bertajuk Shophouse Social dengan ketinggian lima lantai. Empat lantai didedikasikan untuk kamar-kamar pelancong, satu lantai teratas untuk area servis yakni tempat meenyantap sarapan pagi, dan makan malam.

Hostel ini bersih, resik, dan menyenangkan. Dengan harga tak kurang dari 13 dollar Singapura (tergantung musim) kita bisa menikmati malam Singapura dengan nyaman. Kecuali mungkin kalau kita mendapat teman sekamar dengan karakter ekstrim, atau di luar kebiasaan para turis ekonomi.

HBA/Kompas.com Shophouse Hostel

Kamar yang saya tempati berisi empat bunk bed berkapasitas delapan orang yang seluruhnya perempuan dab berada di lantai tiga. Kamar mandi yang digunakan bersama berjumlah tiga unit, seluruhnya dalam kondisi bersih, dan sangat terawat. Dilengkapi water heater, dan pengering rambut.

Dengan kelengkapan fasilitas dan peralatan penunjang seperti itu, menjadikan tingkat okupansi hostel ini selalu di atas 100 persen. Terlebih saat musim puncak liburan. Reservasi penuh sebulan sebelum hari libur.

Staf administrasi Shophouse Social Hostel, Mustafa, mengatakan, para tamu biasanya merupakan turis backpacker asal Eropa, Amerika Serikat, dan negara-negara Asia, termasuk Indonesia, dan Korea Selatan.

"Mereka tahu hostel ini dari internet dan juga secara word of mouth. Tapi lebih banyak secara word of mouth. Kami direkomendasikan oleh para backpacker. Ini sebuah kehormatan menjadi salah satu referensi utama," tutur Mustofa, Sabtu (9/5/2015).

Mustafa melanjutkan, dalam tiga tahun terakhir, arus wisatawan asal Tiongkok, dan Korea Selatan lebih mendominasi. Mereka bermalam (length of stay) rerata selama seminggu. "Mungkin ekonomi Tiongkok, dan Koreal Selatan sedang booming," imbuh Mustofa.

Tak jauh dari Shophouse Social Hostel, terdapat Kampong Glam Cafe. Ini merupakan tempat kongkow para turis dengan harga kudapan tak lebih 6 dollar Singapura per item. Muda-mudi berbagai etnis, ras, bangsa, dan agama, berbaur di tempat ini, menikmati suguhan kuliner khas melayu dengan label 'halal'.

Saya pun turut dalam keceriaan dengan mereka, menyantap laksa Singapura berbanderol 4 dollar Singapura dan teh tarik seharga 0,9 sen.

Sementara pelancong-pelancong senior lebih memilih bernostalgia, menikmati saksi mati Istana Kampong Gelam, lengkap dengan tutorial digital yang bisa diakses melalui layar LED di gerbang kawasan.

Selama tinggal beberapa malam, pada akhirnya, Kampong Glam tak salah dilabeli permata sejarah dan budaya Singapura. Sebuah tempat yang menawarkan pengalaman luar biasa. Keramahan orang-orang Melayu, orang-orang Arab, dan kebanggaan mereka sebagai warga Singapura.

Mereka memberikan informasi dan meyakinkan saya bahwa Singapura, khususnya Kampong Glam, tak pantas untuk dilupakan. Paras menawan Bobby, blasteran Arab-Belanda, yang menawari kunjungan ke Kampong Glam pun berkelebat saat artikel ini dibuat.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com