Kota ini bisa menjadi acuan bagi Jakarta bagaimana sebuah gedung tinggi, atau proyek lainnya secara umum, termasuk infrastruktur, dibangun tanpa menimbulkan potensi gejolak sosial, ekonomi, dan terganggunya aktivitas warga kota.
Hal itu terlihat dari pengembangan apartemen Highline Residences yang dibangun salah satu raksasa properti Singapura yakni Keppel Land. Hunian vertikal yang berlokasi di kawasan Tiong Bahru, ini dibangun dengan rapi. Situs proyek dipagari seng bercat putih bersih. Di sekitar area, tertutup rapat, tak ada sejengkal pun lahan terbuka dengan tanah berceceran memenuhi jalan di sekitarnya.
Truk pengangkut material bangunan, dan alat berat, diparkir di tempat yang telah disediakan. Sebelum kendaraan besar ini ulang alik dari dan menuju situs proyek, harus dalam keadaan bersih.
Begitu pula dengan pengembangan proyek untuk fasilitas sosial, umum, maupun rumah ibadah. Mesjid Sultan yang berada di Kampong Glam, dan sedang direnovasi juga dikerjakan secara rapi. Sehingga para wisatawan yang berkunjung tidak merasa terganggu dengan aktivitas renovasi.
Bagaimana dengan proyek infrastruktur yang dikerjakan pemerintah? Jalur 3 Jalan Besar Station dibangun dengan perencanaan yang matang. Sebelum realisasi pembangunan pemerintah kota Singapura melakukan simulasi arus lalu lintas secara digital. Sehingga diketahui ruas-ruas mana yang potensial mengalami penumpukan kendaraan, bagaimana dengan para pejalan kaki, dan pelimpahan arus lalu lintas, dan sebagainya. Semua dilakukan dengan pertimbangan matang.
Pejalan kaki terhindar dari debu proyek karena sudah disediakan sebelumnya jalur pedestrian di sepanjang proyek jalur infrastruktur baru ini. Bahkan, di beberapa ruas, dipagari secara permanen dengan besi bercat hijau.
Bergeser sedikit ke arah perempatan Kuningan, tengah dikerjakan proyek infrastruktur jalan layang (fly over) Gatot Subroto sisi selatan.
Karena tidak direncanakan dengan matang, proyek ini membuat area perempatan Kuningan macet total. Halte bis Trans-Jakarta Kuningan Timur yang dikorbankan dan kemudian dibuat gantinya, tidak didesain menyamankan penggunanya. Demikian halnya dengan jalur pengganti untuk kendaraan non-bus Trans-Jakarta, juga tidak dibangun secara memadai.
Nasib pedestrian yang akan melintasi area ini pun terpaksa harus berebut jalan dengan pengguna kendaraan bermotor. Alih-alih nyaman jalan kaki, malah kena debu proyek, dan "diteriaki" klakson motor, dan mobil.
"Jika pendekatan simulasi ini terus menerus digunakan untuk berbagai proyek apa pun, dapat dicek kemungkinan-kemungkinan untuk mengatur jadwal jalur yang satu dengan yang lain agar lalu lintas terkendali," ujar Yudha, sapaan akrab Bambang Eryudhawan kepada Kompas.com, Kamis (7/5/2015).
Yudha menambahkan, Jakarta lemah dalam manajemen proyek. Semua proyek diburu waktu, berlomba lomba untuk selesai demi penyerapan anggaran. Sementara di sisi lain semua pendekatan sosial, ekonomi, lingkungan, dan lain-lain diabaikan.