Menurut Stevanus, permasalahan banjir yang ada di Jakarta, seperti yang terjadi Jumat sore hingga malam (20/3/2015), tak bisa semata-mata dilimpahkan kepada pembangunan reklamasi.
“Tidak sesederhana itu. Jakarta tanpa reklamasi pun sudah punya masalah banjir karena kita memang tidak pernah mengatasi perencanaan infrastruktur penanggulangannya,” ujar Stevanus kepada Kompas.com.
Stevanus menjelaskan, jenis tanah lempung yang mendominasi wilayah Jakarta membuat penetrasi air ke dalamnya menjadi sulit. Hal ini diperparah dengan berbagai bangunan di Jakarta yang tidak memiliki sistem resapan air yang baik, minimnya ruang terbuka hijau (RTH), dan terus menurunnya permukaan tanah di Jakarta setiap tahun.
“Kondisi geologi Jakarta ini memang membuatnya rawan banjir. Ini diperparah dengan tata ruang Jakarta yang direncanakan justru tidak dibangun sesuai peruntukan,” lanjut Stevanus.
Stevanus menambahkan, kondisi tersebut juga disebabkan tak adanya kejelasan berbagai proyek yang pernah dicanangkan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk menanggulangi banjir.
“Kita coba lihat saja proyek-proyek (penanggulangan banjir) yang mangkrak di Jakarta, seperti Kanal Banjir Timur, sodetan Ciliwung, penertiban bantaran kali. Proyek-proyek itu sudah dicanangkan dari dulu tapi sampai sekarang masih belum juga ada kejelasannya. Saya berpikir ada atau tidak reklamasi, Jakarta tetap akan banjir. Jangan berpikir reklamasi akan menambah banjir atau tidak dulu karena permasalahan intinya juga tidak dikerjakan,” tandas Stevanus.
Sebelumnya diberitakan, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menilai wajar Jakarta selalu banjir. Pasalnya kata dia, reklamasi di teluk Jakarta terus dilakukan. Bahkan, baru-baru ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memberikan izin reklamasi untuk proyek Pluit City seluas 160 hektar.
"Kalau Jakarta banjir ya tidak aneh. Kenapa aneh? Apa pun kita ambil wilayah air, kalau tidak ada pengganti wilayah air lagi akan banjir. Kalau ada reklamasi 10 hektar harus ada wilayah genangan 10 hektar,kalau tidak airnya mau ke mana?" ujar Susi saat berbincang di Kantor KKP, Jakarta, Kamis (12/2/2015).
Dampak reklamasi
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta, Puput TD Putra menjelaskan dampak reklamasi beberapa proyek properti di Teluk Jakarta bukan hanya bencana banjir. Reklamasi juga berbahaya bagi Kepulauan Seribu karena dapat mengubah keseimbangan alam dan hilangnya sosial budaya serta ekonomi lokal.
“Proyek pembuatan daratan baru itu bisa mengubah arus gelombang laut yang akhirnya berdampak ke Kepulauan Seribu. Biota laut yang ada di wilayah reklamasi juga akan rusak. Warga di sana bisa kehilangan mata pencarian dan sosial budayanya pudar. Jelas ada unsur pelanggaran hak asasi manusia terhadap warga kalau proyek reklamasi ini terus dilanjutkan. Pertanyaanya reklamasi ini untuk siapa," papar Puput.
Walhi Jakarta, ujar Puput, menolak dan meminta Pemprov DKI Jakarta menyetop izin reklamasi di Teluk Jakarta. Menurutnya, akan lebih baik bila Pemprov melakukan revitalisasi 13 aliran sungai dan menormalisasikan Teluk Jakarta. Hal tersebut justru lebih baik untuk memperbaiki kondisi lingkungan Jakarta yang sudah semakin parah.
“Lebih baik fokus untuk merevitalisasi 13 aliran sungai yang bisa mengatasi banjir. Selama ini banyak bantaran sungai yang beralih fungsinya menjadi hunian atau gedung-gedung bertingkat. Banyak yang memakan lahan bibir sempadan sungai. Padahal di peraturan, 15 meter dari bibir sungai tidak boleh ada bangunan atau pemanfaatan fungsi lainnya,” tandas Puput.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.