Perlambatan tersebut dipicu melemahnya pasar properti
meskipun pertumbuhan ekonomi kuat. Perlambatan diperkuat oleh kebijakan pendinginan Bank Indonesia (BI) melalui pengetatan kredit properti dan kenaikan suku bunga.Total kredit rumah tercatat hanya meningkat 0,32 persen selama enam bulan pertama 2014 menjadi Rp 282,36 triliun.
Tak mengherankan jika kemudian indeks harga properti residensial di 14 kota besar selama semester I tahun ini anjlok hampir separuhnya yakni 7,8 persen. Sementara periode yang sama tahun lalu masih bertengger di angka 12,11 persen.Banyak kota yang mengalami pertumbuhan harga begitu kecil sehingga nilainya benar-benar menurun secara riil. Termasuk Padang yang hanya naik 4,33 persen, Yogyakarta naik 4,07 persen, Medan (3,99 persen), Semarang (2,5 persen), dan Pontianak (1,69 persen).
Kelas atas melemah
Pelemahan juga terjadi di sektor spesifik kelas atas atau mewah. Hal ini disebabkan penurunan kedatangan perjalanan bisnis dan jumlah ekspatriat akibat perlambatan ekonomi. Tingkat kekosongan apartemen mewah di Jakarta meningkat dari sebelumnya 11,7 persen menjadi 14,7 persen secara tahunan.
JLL Indonesia menyebut bahwa tingkat kekosongan itu menstimulasi pemilik gedung memangkas harga sewa, meskipun sebagian di antaranya masih meempertahankan harga awal. Secara umum, harga sewa efektif pada apartemen mewah tercatat sebesar 217 dollar AS per meter persegi per tahun, melorot 1,5 persen.
Perumahan mewah pun tak luput kena imbas pelemahan ini yang pada gilirannya memperlambat permintaan secara umum sebagai akibat dari pengetatan loan to value yang dirilis pada September 2013. Sehingga tingkat penjualan properti residensial naik hanya 15,33 persen.
Kendati begitu, masih banyak orang Indonesia terutama orang kaya membeli properti. Apa penyebabnya? Associate Director Consultancy and Research Knight Frank Indonesia, Hasan Pamudji, mengatakan, orang kaya Indonesia masih membeli properti dengan tujuan utama untuk meraup pendapatan sewa.
"Imbal hasil apartemen kelas atas bisa sebesar 8 persen hingga 11 persen per tahun," kata Hasan.
Dia menambahkan, investor-investor tersebut terdiri atas orang-orang kaya atau orang asing yang menikah dengan orang Indonesia, dan sebaliknya orang Indonesia menikah dengan orang asing. Motifnya adalah kemacetan lalu lintas yang mendorong orang-orang kaya tersebut memiliki rumah kedua atau apartemen di dekat tempat kerja mereka.
"Ada banyak pasangan muda yang menempuh pendidikan di luar negeri membeli dan memilih tinggal di apartemen-apartemen kelas atas ini. Sementara ekspatriat cenderung menyewa rumah di Kemang, Pondok Indah, Menteng, Kuningan, di mana daerah tersebut lebih hijau, dikelilingi sekolah internasional, rumah sakit dan hiburan. Mereka juga menyewa apartemen mewah di CBD Sudirman atau Kemang, Pondok Indah, dan Pejaten," jelas Hasan.
Ada pun harga rerata apartemen kelas atas meningkat sebesar 2,45 persen menjadi Rp 24,4 juta per meter persegi. Harga apartemen di CBD Jakarta rerata Rp 40,2 juta per meter persegi, Jakarta Selatan sekitar Rp 28 juta dan di luar CBD non-area premium sekitar Rp 19,7 juta per meter persegi.