Di koridor ini terdapat total 50 perumahan di atas 5 hektar. Sepuluh di antaranya memiliki luas lahan di atas 100 hektar (skala kota). Bila masing-masing perumahan skala kota tersebut terdiri atas 6.000 unit rumah, maka jumlah kendaraan yang akan melintasi Jalan Transyogie sebanyak 60.000 unit. Bagaimana bila dijumlahkan dengan seluruh perumahan di mana masing-masing kepala keluarga memiliki satu unit kendaraan?
Menurut pengamat perkotaan dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, Jalan Transyogie akan mengalami grid lock atau kemacetan total jika pemerintah tidak kunjung mengatasinya dengan pendekatan transportasi publik terintegrasi.
"Koridor Transyogie Cibubur dan sekitarnya berada di bawah yurisdiksi empat pemerintahan, yakni Kota Jakarta Timur, Kota Depok, Kabupaten Bekasi, dan Kabupaten Bogor. Keempatnya harus bertanggung jawab. Mereka duduk bersama, menggandeng pihak terkait lain seperti Jasa Marga atau Kementerian Perhubungan untuk mengembangkan infrastruktur yang mendukung transportasi publik," terang Yayat kepada Kompas.com, Sabtu (1/11/2014).
Daya dukung Cibubur dan sekitarnya, kata Yayat, tidak memadai. Untuk meningkatkan kapasitas jalan melalui pelebaran atau penambahan jalan tidak mungkin karena harga lahan di kawasan ini sudah demikian tinggi yakni sekitar Rp 3 juta hingga Rp 15 juta per meter persegi.
"Salah satu cara mengatasinya adalah dengan membuka jalur alternatif atau menyegerakan pembangunan Jalan Tol segmen Cimanggis-Cibitung setelah Tol Cijago rampung. Jalur ini akan mengurai kemacetan. Masyarakat yang bekerja di kawasan-kawasan industri Bekasi-Cikarang tidak harus melintasi Jalan Transyogie-Tol Jagorawi-Cawang, tetapi lewat Tol Cimanggis-Cibitung," papar Yayat.
Namun, kata Yayat, sebelum merealisasikan Jalan Tol Cimanggis-Cibitung yang merupakan infrastruktur jangka panjang, pemerintah harus membangun sistem transportasi publik terintegrasi seperti monorel dan mass rapid transit (MRT). Keberadaan transportasi publik yang cepat, aman dan nyaman akan mengurangi minat masyarakat menggunakan kendaraan pribadi.
"Kehadiran bis-bis pengumpan yang disediakan oleh para pengembang di koridor tersebut menjadi percuma bila tidak disertai dengan pembangunan jalur khususnya. Sekarang naik bis pun kena macet juga karena tidak tersedia jalur khusus," tambah Yayat.
Sentra Primer
Yayat menuturkan hal penting yang harus diperhatikan juga adalah masalah tata ruang. Sebelum dibangun Tol Jakarta-Cikampek, koridor Transyogie diskenariokan sebagai sentra primer lengkap dengan zonasi khusus perumahan, industri, bisnis, perdagangan dan juga pariwisata.
"Namun, dalam perkembangannya kemudian jalur ini justru hanya merupakan perlintasan. Masyarakat yang ingin ke Bandung bisa melewati jalan Transyogie via Jonggol. Skenario awal sama sekali terbengkalai. Tidak ada pemikiran untuk mengembangkan wilayah ini secara komprehensif dan terpadu. Yang ada hanya pembangunan properti yang sporadis. Tiap jengkal lahan pasti ada perumahan, ruko dan mal," tandas Yayat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.