Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jelang AFTA, Sertifikasi Desainer Masih Dipersulit

Kompas.com - 20/08/2014, 21:54 WIB
Tabita Diela

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - 
ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang mulai berlaku tahun depan sebenarnya bisa dilihat sebagai tantangan menarik untuk meningkatkan kualitas dan daya saing berbagai sektor di Indonesia. Sayangnya, kesempatan tersebut kini menjadi momok lantaran pemerintah dianggap belum siap memberikan dukungan dan perlindungan bagi sektor maupun pelaku usahanya. 
 
Hal ini mengemuka dalam konferensi pers penyelenggaraan  Asia Pasific Space Designer Alliance (APSDA) 2014 di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta, Rabu (20/8/2014).

Ketua Himpunan Desainer Interior Indonesia (HDII), Francis Surjaseputra, mengungkapkan, para desainer asing sudah siap masuk dan berkarya di Indonesia. Sementara, desainer Indonesia tidak bisa bersaing di luar negeri. Bukan karena kurangnya kemampuan, namun karena desainer dalam negeri belum mengantongi lisensi resmi.

  "Indonesia, di HDII terutama, pengurusan sertifikasi masih dalam proses pengiriman data ini, data itu, bertahap. Sedangkan, di Filipina sudah selesai jauh sebelumnya. Malaysia juga sudah selesai. Padahal, setelah Filipina, Indonesia mulai mengurus sertifikasi jasa interior desain. Pemerintah di Indonesia masih minta data ini, data itu, ubah kebijakan ini-itu," papar Francis.
 
Masalah sertifikasi juga dikeluhkan oleh Ketua HDII DKI Jakarta Lea A. Aziz. Menurut Lea, sertifikasi di Indonesia seolah dipersulit. "Saya sebagai ketua HDII DKI ini mau memperpanjang muter-muter dulu, harus ke menteri kehakiman, ke sini, ke situ. Padahal, desainer itu butuh kebebasan," ujarnya.
 
Meski tampak sepele, masalah sertifikasi sebenarnya penting. Tanpa mengantongi sertifikasi, desainer Indonesia tidak bisa bekerja di mancanegara. Jangankan di luar negeri, di dalam negeri pun, para pengguna jasa desainer interior seolah lebih percaya pada tenaga asing.
 
"Waktu saya ditanya oleh teman-teman dari kementerian, apa yang (harus dilakukan) supaya kita siap. Saya bilang, saya tidak mau dikasih bambu runcing disuruh perang bertahan diri di kandang. Kalau bisa, saya buka kantor di Singapura, di Malaysia, kalau memang AFTA terbuka. Saya mau ada kantor di seluruh ASEAN. Tapi, kalau saya buka di Filipina, sementara di Indonesia sertifikasi saya masih tergantung, saya bekerja di sana tanpa ada sertifikasi di Indonesia maupun kerja sama dengan negara terkait melalui asosiasi, yang datang malah polisi," terang Francis.
 
Proses mengajuan sertifikasi sebenarnya sudah dimulai sejak empat hingga enam tahun lalu. Namun, menurut Francis, proses tersebut terhambat di DPR.
 
Selain sertifikasi, sistem edukasi di Indonesia pun punya andil dalam membuat apresiasi terhadap para desainer cukup rendah. Menurut Francis, hingga kini desain hanya dimengerti secara sederhana, misalnya terkait pembuatan baju atau logo. Sementera, desain yang terkait dengan pembuatan ruang belum begitu dikenal.
 
"Tantangan lain, sistem edukasi. Bahwa kita harus mendidik bukan dari perguruan tinggi. Singapura sudah mulai mendidik dari level SMA. Sejak SMA, mereka sudah mengenalkan mata pelajaran desain. Di Indonesia, mata kuliah desain hanya ada di perguruan tinggi. Bagaimana dengan anak-anak lima tahun yang tidak mengenal kata desain?" pungkas Francis. 
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau