Tidak saja di Jakarta, melainkan di kota-kota besar dan lapis kedua lainnya di seluruh Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa properti subsektor ritel demikian bergairah dan berkontribusi terhadap pergerakan ekonomi.
Jakarta yang saat ini memiliki 75 pusat belanja atau 30 persen dari total 250 pusat belanja yang ada di seluruh Indonesia dianggap tidak memerlukan pembatasan (moratorium). Pasalnya, pusat belanja berkembang karena mekanisme supply and demand (pasokan dan kebutuhan). Selama kebutuhan ada dan pasokan terbatas, pusat belanja akan terus dibangun.
Ketua Umum DPP Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI), Handaka Santosa, berpendapat, dalam framing seperti itu, seharusnya tidak perlu ada pembatasan (moratorium) pusat belanja di Jakarta. Ini lantaran pusat belanja yang ada di ibukota itu cenderung untuk kalangan kelas menengah dan menengah atas yang tidak terlalu sensitif terhadap harga. Sekalipun terjadi inflasi "gila-gilaan" tidak akan memengaruhi daya beli mereka.
"Jadi, no need to worry. Jakarta tidak perlulah moratorium segala. Karena pusat belanja yang ada di Jakarta itu untuk kalangan kelas menengah dan menengah atas yang tidak terlalu sensitif terhadap harga," ujar Handaka kepada Kompas.com, Senin (4/8/2014).
Handaka melanjutkan, ada banyak peritel dari grup-grup menengah dan besar yang menyampaikan keluhan, bahwa mereka sulit mendapatkan space untuk ekspansi. Kalau pun ada ruang, mereka harus rela antri dalam daftar tunggu pusat belanja yang diincar. Akibatnya, target penjualan pun tertahan. Hal ini terjadi di Jakarta dan kota-kota lainnya di seluruh Indonesia.
Data JLL memperkuat pernyataan Handaka, bahwa aktivitas sewa menyewa pusat belanja terus menunjukkan stabilitas cenderung signifikan. Kinerja triwulan II 2014 tercatat penyerapan bersih sebesar 14.000 meter persegi. Jumlah ruang terserap ini melonjak 290 persen ketimbang kuartal satu.
"Permintaan positif tersebut membantu mempertahankan tingkat hunian pada kisaran yang stabil yakni sekitar 93 persen dari total pusat belanja eksisting 2,6 juta meter persegi," ujar Head of Retail JLL, James Austen.
Pertumbuhan pasar ritel di Jakarta, tambah James, masih akan terus didukung oleh ekspansi pebisnis ritel lama dan baru yang masuk ke Indonesia. Tingginya konsumsi masyarakat segmen menengah atas akan terus menarik dan mendorong permintaan untuk toko-toko baru di proyek-proyek pusat belanja.
Suku bunga
Menurut Handaka, yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan daya beli kelas bawah dengan mengoreksi suku bunga acuan Bank Indonesia dari saat ini 7,5 persen menjadi 6,5 atau 7 persen.
Pasalnya, dengan tingkat suku bunga acuan saat ini, menyebabkan tingkat suku bunga kredit menjadi tinggi. Kondisi ini telah menggerus daya konsumsi masyarakat kecil. Mereka yang memiliki kewajiban mengasur kredit bulanan akan semakin terjepit dengan kenaikan inflasi. Sehingga daya beli mereka semakin rendah.
"Jadi, yang perlu dikhawatirkan adalah bukan kehadiran pusat belanjanya, melainkan daya beli masyarakat kalangan kelas bawah. Daya beli mereka semakin rendah saat terjadi kenaikan inflasi. Di sini tak ada kontrol atau kendali," imbuh Handaka.