Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Brand" Lombok Belum Kuat sebagai Surga Wisata

Kompas.com - 14/07/2014, 12:10 WIB
Hilda B Alexander

Penulis

KOMPAS.com - Potensi Lombok, Nusa Tenggara Barat, tak hanya mampu menarik wisatawan untuk berkunjung namun juga memincut investor membenamkan investasinya. Sayangnya, destinasi rekreasi ini tidak punya "brand" yang kuat.

Lombok menjadi incaran, karena harga lahan di Bali, sudah sedemikian tinggi. Harga lahan di Seminyak, Canggu dan Batu Belig sudah menembus angka sekitar 2.500 dollar AS (Rp 28,9 juta) per meter persegi. Sehingga tidak layak untuk dijadikan sebagai ladang investasi. Terlebih berbagai jenis akomodasi, tersedia di Pulau Dewata dengan jumlah pasokan melimpah.

Sementara Lombok, justru menawarkan alternatif lain. Selain harga lahan masih relatif lebih kompetitif, yakni hanya 100 dollar AS-250 dollar AS (Rp 1,1 juta-Rp 2,8 juta) per meter persegi, pasokan hotel, resor dan jenis penginapan lainnya juga masih terbatas. 

Lombok, dalam kacamata Direktur Pelaksana C9 Hotelworks, Bill Barnett, punya masa depan cerah dengan segudang pesonanya. Industri vila, resor dan hotel mendorong kawasan ini pantas menjadi destinasi utama, selain Bali.

Terlebih, pemerintah telah menetapkan kebijakan untuk membangun infrastruktur demi percepatan pembangunan ekonomi di seluruh Indonesia, termasuk Lombok. Dengan pembangunan infrastruktur, diharapkan perekonomian Lombok mengalami pertumbuhan signifikan.

Selama ini, upaya Lombok Tourism Development Corporation (LTDC) menjual Lombok, belum berhasil. Pulau ini belum mampu menangkap banyak investor dan turis, baik asing maupun domestik.

Padahal, Lombok sangat digandrungi wisatawan asing asal Australia, dan negara-negara lainnya. Sementara saat ini, Bali justru sangat bergantung pada pasar Jakarta, dan Surabaya, serta pasar domestik lainnya.

"Apa yang dibutuhkan pasar akan membentuk keseimbangan dan pengakuan bahwa siklus pulau-pulau di selatan Bali sangat dinamis. Sementara di sisi lain, Lombok belum membentuk brand  dengan daya tarik yang sangat kuat," ujar Bill.

Bukan Phuket dan Bali
 
Lombok bukanlah Bali atau Phuket, di Thailand. Lombok punya keunikan tersendiri. Terlebih mulai banyak investor institusi yang menggarap pasar Lombok. "Ini merupakan realitas yang baik. Apalagi pengembang Nasional juga sudah mulai melirik Lombok. Ini sekaligus jalan bagi kawasan ini untuk lebih terbuka dan dikenal amsyarakat luas," tambah Bill.

Resor, hotel, dan vila di Lombok, selama ini, merupakan generator pertumbuhan properti. Diawali munculnya Allamanda Resort pada 1993. Diikuti Sheraton Island Villas pada tahun 1995. Kemudian Laguna Village tahun 2002. Hingga 15 tahun kemudian, Lombok mengalami siklus properti.

"Salah satu tantangan menarik yang dihadapi pengembang adalah skema pembelian properti bagi investor individu asing, status kepemilikan freehold atau hanya sewa. Aturan hukum seperti itu yang dibutuhkan Lombok untuk tumbuh lebih sehat dan dinamis," tutur Bill.

Dalam mengantisipasi siklus properti, penting untuk preposisi bahwa Lombok tidak bisa dan tidak boleh mengacu ke Bali atau Phuket. Kedua pulau adalah dua tujuan resor yang dominan di Asia dengan puluhan produk Hotel, dukungan infrastruktur dan pengalaman. Keduanya sekarang menuju ke sebuah era urbanisasi yang mungkin akan mengubah mereka menjadi kota tepi laut dalam sepuluh tahun ke depan.

"Ini akan menjadi kesempatan bagi Lombok menjadi tujuan rekreasi paling dinamis di Asia pada dekade berikutnya," tandas Bill.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau